Lubang hidung saya tetiba terpenuh oksigen lebih, dan terhempas ke belakang bersama helaian yang tumbuh di kepala. Saya terhempas oleh angin lajuan kereta di depan saya. Bersama sepuluh rekan, saya memang sedang bertandang Museum Kereta Api Ambarawa Jawa Tengah.
Mesin yang lebih riuh daripada mesin ular besi modern, menjadikan sebuah harmoni yang merdu untuk saya. Begitu juga asap putih yang menyeruak dari sela roda besi, yang lebih tebal daripada badan saya tentunya. Dengan tiket Rp10.000,00 , maka saya duduk di bangku kayu di gerbong vintage. Sejauh mata memandang setelah beberapa waktu, tampaklah tepian Rawa Pening lengkap dengan Karamba, dan sekerumuna enceng gondok.
Ular besi ternyata tidak hanya berjalan searah, namun juga mengembalikan saya ke Museum Kereta Api Ambarawa. Saya tersenyum lebar, dan tampak di layar gawai yang tergenggam. Memori yang terpendar, dan bisa diciptakan lagi, sudah cukup buat saya untuk disebut bahagia. Sayangnya tidak ada penjaja Bubur Ayam.
Oleh : Vika Kurniawati
Silakan login/daftar akun kompas.id untuk dapat melakukan voting