Setiap subuh menjelang mentari terbit, bidadari-bidadari dari surga, meluncur diatas pelangi menuju dinginnya air Gunung Ciremai yang bermuara di Bumi Palutungan. Terbayang sudah suasananya, pelangi yang colourfull, pasti sejuk, hijau, alami, banyak kicauan burung, beningnya air, bebatuan. Ceng.. ceng.. ceng.. mari kita kesana.
Sepanjang perjalanan yang melewati 2 rasa, hot and cold, mirip tulisan di lampu penanda suhu di dispenser. Berangkat dari Kota Cirebon, kota pantai yang sungguh rasanya suhu saat itu mencapai 35 derajat celcius plus silaunya matahari ditambah lagi angin kumbang yang menawarkan terpaan gaya angin dan debu. Sesuatu sekali keadaan itu bagi kami yang menumpangi mobil umum yang biasa disebut Elf bukan di van mewah yang tinggal duduk bersandaran menikmati sejuknya udara buatan, karena menikmati pemandangan kanan-kiri saja butuh perjuangan berkompromi dengan mata yang senantiasa berkedip melindungi dirinya dari terpaan angin dan debu.
Sekitar 20 menit berlalu, sesuatu berbeda mulai terasa, angin yang menerpa benar-benar sejuk, menandakan Kota Cirebon berlalu berganti dengan Daerah Kuningan, waktunya untuk menyeka lapisan di wajah yang terbentuk oleh foundation bercampur sedikit debu, agar bisa ditembus oleh udara Kuningan yang bersuhu sekitar 23 derajat Celcius. Setiap kota memang memiliki keunikan masing-masing. Tiba di pertigaan Cigugur, nama tempat kendaraan umum menurunkan penumpangnya untuk ke berbagai tujuan selain Kota Kuningan, sekaligus nama Kecamatan tempat yang kami tuju. Ongkosnya lumayan murah, hanya 7rb/orang, Kami pun turun dan melanjutkan perjalanan dengan angkot kampung menuju kaki gunung Ciremai, ongkosnya juga murah Cuma 3rb/orang, dengan waktu tempuh sekitar 5 menit dengan hawa yang semakin dingin, dan perkebunan sayur terbentang dikiri dan kanan jalan, ada sekitar 3 rumah perah susu sapi yang dilewati, dengan ciri khas gentong susu besi seperti di film2 barat yang ada scene dipeternakan. Dalam waktu 5 menit ini, sopir bertingkah bagaikan pemandu wisata menjelaskan tentang apa yang dapat dinikmati di Bumi Palutungan, termasuk cerita di paragraph pertama, kalau semua warga kota seperti pak sopir ini, maka Indonesia bisa semakin diketahui oleh dunia.
Pak Sopir berlalu dengan senyuman, setelah sebelumnya menawarkan jasa penjemputan di jam yang diinginkan, dengan meninggalkan nomor HPnya, hmm.. marketing yang bagus menurutku. Kuhirup dalam-dalam hawa dingin disini, jejeran pohon pinus terbentang dilahan yang luasnya 3x lapangan bola menurutku, tanahnya hijau dengan rumput yang tidak basah, sehingga orang bisa leluasa duduk dan berbaring dimana saja. Tiket masuk hanya 12.500/orang, murah. Mumpung masih pagi, rasanya menikmati air terjun tempat mandi bidadari, lebih penting daripada menikmati jejeran pinus dan pemandangan lembah Gunung Ciremai. Jalan menuju Lokasi air terjun jauh dari bayanganku, yang licin, berlumut, basah, terjam, dari jejeran pinus pun sudah bisa terlihat, jalan setapak berbatu dan beraturan yang dibuat khusus untuk berjalan kaki dengan nyaman , dikiri kanan ada pohon-pohon berbunga, kemudian bersambung dengan tangga menurun, kering, tidak basah, tidak berlumut dengan pegangan besi yang baru di cat menurutku, karena tidak ada bekas cat yang berkarat. Pengelola disini sepertinya memanjakan pengunjung dengan kemudahan akses untuk siapapun, dari anak2 sampai lansia.
Hanya 3 menit sampailah di lokasi paling bawah air terjun, ini kah tempat mandi para bidadari. Pelangi sudah lewat, kata orang-orang yang sudah lebih pagi disini, yah gapapalah, air terjun ini dikelilingi oleh akar-akar pohon yang mungkin umurnya ratusan tahun, dengan tinggi sekitar 30 meter, itu tinggi akarnya lho, selain itu daun-daun yang rindang juga membuat suara-suara semilir angin menjadikan tempat ini rasanya nyaman buat tempat mandi. Tak sabar rasanya merasakan mandi dibawah jatuhan air, kembali mengingat pelajaran Fisika, yang sepertinya akan menghasilkan gaya gravitasi (F) yang besar karena massa air yang besar, kecepatan serta tinggi air terjun sekitar 20an meter. Langsung saja kuselamatkan barang-barang berharga, dan membuat diriku free untuk mandi basah-basahan, airnya super dingin, rasanya sama dengan air kulkas yang kupakai saat membuat adonan baso, dingiiiinnn. Pijakanku masih keras, tetapi makin mendekati air terjun , batu berubah menjadi pasir, agak ngeri juga karena kedalaman bertambah, terbayang pasir isap seperti di film. Tapi tekadku kuat untuk merasakan mandinya para bidadari, beberapa pengunjung memperingatiku untuk tidak langsung dibawah air karena katanya ada bagian yang dalam. Kuteruskan langkahku dengan hati-hati , dan YESS berhasil berdiri tepat ditengah-tengah dan dihujani bertubi-tubi dentuman kerasnya air, dengan rasa was-was kaki jangan sampai salah injak kekedalaman yang wallahu alam dibawah air. Dan rasanya WOW, seluruh stress, pikiran-pikiran buruk rasanya lepas dari badan ini. Dan menjadi manusia yang very happy, entahlah ini berlebihan atau tidak, tapi itulah yang saya rasakan.
Ternyata jadi bidadari itu tidak mudah, mandinya saja harus dihujani dentuman keras siraman air, dingin pula, tapi mereka dapat predikat bidadari karena dengan mandi seperti itu mereka jauh dari negative thinking, jiwa dan raganya selalu bersih. Hm….perumpamaan yang Damn its almost true.
So come and just feel it.