Sebuah pesan singkat muncul di ponsel saat saya baru saja beranjak dari Rende di Sumba Timur. Isinya singkat saja. “kamu harus ke Tanarara”
Segera saya menoleh kepada pemandu sekaligus supir yang telah setia menemani perjalanan dari Sumba barat daya sampai Sumba timur.
Seperti biasa pak Adi dengan sabar menuruti kemauan saya. Mobil mengambil jalur sebaliknya dari Rende. Berkendara beberapa lama dan pada suatu titik berbelok ke kiri. Tidak ada papan petunjuk menuju Tanarara.
Melewati beberapa rumah yang tersebar, jalan makin menanjak, walaupun semula kiri kanan masih berupa pohon-pohon dan rumah penduduk walaupun jarang. Makin ke atas yang sering dijumpai adalah padang rumput .
Cukup lama juga kami melaluinya padang ini. Tanarara berarti tanah merah, dan memang di padang ini terlihat tanah kering berwarna semu merah
Lalu kami tiba di tempat datar, jalan mulai terlihat rompal di sana sini, tak jarang pak Adi lebih memilih jalan tanah dibanding jalan yang aspalnya terkelupas. Setelah terguncang-guncang beberapa lama. Mulai terlihat perbukitan, nah jalan kecil yang berkelok-kelok tajam sampai nun jauh di sana itulah yang harus ditempuh.
Jantung yang dari tadi sudah berdetak kencang menjadi makin bergetar. Jalur yang sempit diapit tebing batu di sisi kiri dan jurang di sisi kanan ditambah aspal yang terlihat compang camping menambah kecemasan saya. Bayangan ban bocor dan kehabisan bensin mulai bermain-main dalam benak. Sementara pak Adi terlihat berkonsentrasi penuh. Punggung bukit ini seperti tak habis-habis dilalui. Pada kelokan yang curam terlihat truk yang terguling, pemandangan yang bagus di saat stress.
Ternyata ada truk yang dimodifikasi jadi angkutan umum beroperasi dengan trayek Tanarara – Waingapu. Jauh sekali! Bukan itu saja, ada juga bis Damri tua yang juga beroperasi dengan trayek yang sama. Hanya saja bis itu cuma sampai titik tertentu di Tanarara ini.
Perjalanan kami masih jauh melewati titik di mana bis Damri itu berhenti. Seperti tak berujung, dari tanjakan satu ke tanjakan lain. Kelokan demi kelokan yang curam telah kami lewati. Sepertinya rangkaian bukit ini tidak juga berakhir Namun pemandangan indah sepanjang jalan sedikit mengalihkan kecemasan saya yang melihat mendung mulai mengintip di sela perbukitan. Terlihat kambing-kambing sedang berlari-lari naik turun di pungung bukit.
Akhirnya setelah berjam-jam menekuni jalur perbukitan, Terlihat titik hitam di kejauhan, makin lama makin jelas. Itulah dia. Akhirnya di tikungan yang agak lebar mobil berhenti. Di sisi kiri terdapat tempat mirip bukit kecil. Di situ tegak satu, iya satu saja yaitu bangunan kubur batu.
Jauh bawahnya terlihat lembah persawahan. Dengan lega saya keluar dari mobil, menuruni jalan setapak lalu naik ke bukit kecil itu. Ternyata titik tempat saya berdiri terlihat satu kubur batu lain namun terpisahkan oleh jurang, untung saja saya membawa lensa tele jadi bisa memotretnya dari seberang lembah. Bukan main, adinya saya berniat mengomeli teman saya yang menyarankan agar ke tempat ini, tapi setelah melihat apa yang didapat, keinginan itu menguap begitu saja, digantikan oleh rasa syukur atas suguhan luar biasa ini.
Tidak ada yang bisa ditanyai mengenai kubur batu ini. Tidak ada orang lain di atas bukit ini kecuali kami berdua. Simbol yang tertera pada batu sama sekali tidak dapat saya pahami, sayang sekali
Saya melihat jam tangan, sudah jam dua siang ternyata. Butuh dua jam sendiri dari belokan awal sampai ke tempat ini.
Tak mau membuang waktu lama, segera saja saya menyelesaikan mengambil gambar sementara pak Adi dengan sabar menunggui.
Setelah puas, kami segera putar balik menuju Waingapu. Perjalanan turun tidak setegang tadi, saya mulai tertawa-tawa begitu tahu bahwa ternyata pak Adi adalah adik ipar camat Tanarara.
Kantor camat terletak di bawah lembah yang jalannya tak jauh dari kubur batu tadi. Tak heran dia pahaml sekali jalur yang harus dilalui padahal jarang orang datang ke tempat ini selain penduduk sekitar.
Mendung yang tadi menggantung mulai menurunkan muatannya, tetesan-tetesan kecil mulai berjatuhan. Tapi hanya sampai di situ, tidak berlanjut menjadi hujan lebat.
Dalam perjalanan turun kami berpapasan dengan truk. Karena jalur yang sempit maka masing-masing harus merapat ke sisi sebelahnya. Berhubung sisi lain mobil kami adalah jurang, tidak mungkin bergeser ke sana. Pelan-pelan, mobil kami maju, spion dilipat agar tidak tersenggol, dan akhirnya lolos juga. Pak Adi walaupun dalam keadaan genting tetap menampilkan raut wajahnya yang datar
Saat mobil berjalan pelan karena saya sedangmemotret, sebuah truk menyalip di jalur yang agak lebar. Truk itu dimodifikasi dengan terpal sebagai atap dan tempat duduk di belakang sehingga menjadi angkutan umum. Ada beberapa penumpang di belakang sementara di atap truk ditempati kambing.
Truk itu melaju kencang, meliuk-liuk menuruni punggung bukit. Terlihat kambing-kambing yang diikat di atas atap berdiri oleng terombang-ambing. Sementara mobil kami berjalan santai menuruni bukit dan terus menuju jalan utama. Total bila dihitung, hampir empat jam kami menghabiskan waktu untuk Tanarara. Sungguh perjalanan yang menyenangkan sekaligus menegangkan.
Oleh : Gemara Putri
Silakan login/daftar akun kompas.id untuk dapat melakukan voting