Good friends are like stars. You don’t always see them, but you know they’re always there! – Christy Evans
Pintu gerbang Lawang Sewu pagi itu, Sabtu, 8 Agustus 2015, menjadi saksi hebohnya pertemuan kami, para blogger yang selama ini hanya bisa saling sapa dan haha hihi berbalas posting di dunia maya. Rasanya seolah bertemu dengan teman lama, padahal itu justru adalah pertemuan pertama bagi kami. Thanks to technology, karena telah membuat kami yang tinggal berjauhan ini seolah dekat dan telah mengenal satu sama lain.
Saya sendiri sama sekali gak nyangka, bahwa akhirnya kami bisa ngumpul rame-rame begini. Awalnya, saya cuma mengabarkan pada mbak Rien (www.travelerien.com) bahwa adik saya akan menikah tanggal 9 Agustus di Temanggung, dan setelah acara resepsi, mungkin saya akan melipir ke Semarang. Tak disangka, rencana saya itu ternyata disambut meriah oleh mbak Rien dan Lestari ( www.jejaksematawayang.com).
Makin surprise begitu tau ada beberapa teman blogger lain yang berkenan bergabung. Terharuuuu… Gimana gak terharu, teman-teman blogger yang berkenan bergabung itu bukan hanya yang berdomisi di Semarang seperti mbak Dedew (www.dewirieka.com) yang merupakan penulis novel best seller Anak Kos Dodol, mbak Uniek (www.uniekkaswarganti.com), dan mbak Diah Indri (www.syauqiya.com). Tapi juga mbak Ima (www.tamasyaku.com) yang khusus datang dari Jogja bersama suami tercintanya mas Elton, dan pasangan blogger pecinta warna biru (www.keluargabiru.com), Ihwan dan Ivone yang jauh-jauh datang dari Malang bersama putra tercintanya, Aiman. Dan seorang teman saya sewaktu di pesantren dulu, Fauziah yang kebetulan sedang ada urusan di Semarang, langsung menyusul ke Lawang Sewu gara-gara membaca status saya di facebook.
Di Lawang Sewu Semuanya Bermula
Setelah acara cipika cipiki heboh di depan loket penjualan tiket Lawang Sewu, barulah satu per satu dari kami menuju loket untuk membeli tiket masuk. Harga tiket masuk Lawang Sewu adalah Rp 10.000 untuk pengunjung dewasa, dan Rp 5.000 untuk anak-anak dan pelajar. Demi ingin menikmati Lawang Sewu lengkap dengan segala ceritanya, kami pun memilih untuk menggunakan jasa pemandu.
Lucky us! Pemandu kami yang bernama pak Yusman itu bukan hanya bisa menceritakan secara detail setiap sudut Lawang Sewu, tapi juga seorang fotografer dan pengarah gaya yang jempolan! Dengan sabarnya beliau mau meladeni dan membantu kami berfoto di setiap sudut Lawang Sewu. Walhasil di satu lokasi aja kami sampai menghabiskan waktu cukup lama demi menghasilkan sebuah pose yang cetar membahana.
Apalagi kalau Lestari atau mbak Ima sudah mulai mengeluarkan tongkat saktinya yang bernama tongsis, para blogger manis dan narsis itu pun langsung otomatis merapat. Ya, saling merapatkan kepala supaya semua bisa masuk ke dalam frame kamera. Kebersamaan seperti ini memang harus diabadikan. Harus!
Mencicipi Mie Kopyok dan Es Pankuk
Sesi pemotretan di Lawang Sewu itu membuat kami lapar, apalagi saat itu emang udah masuk waktunya makan siang. Lestari dan mbak Uniek mengajak kami ke salah satu sudut Kota Semarang yang siang itu terlihat ramai. Katanya sih, di tempat itu ada kuliner Semarang yang ngehits banget. Nah, kalau selama ini kita taunya kuliner Semarang itu cuman lunpia, siang itu kami diajak mencicipi kuliner Semarang yang lain, namanya mie kopyok.
Warung mie kopyok Pak Dhuwur yang ada di jalan Tanjung siang itu cukup ramai. Penasaran seperti apa sih mie kopyok khas Semarang ini? Yang dari namanya terdengar unik, kok mie pake dikopyok-kopyok segala..
Mie kopyok ini isinya lontong, mie, toge, tahu, yang kemudian disiram kuah berbumbu bawang putih. Sebagai pelengkap ditaburi seledri, bawang merah, dan kerupuk gendar (kerupuk dari beras), kemudian ditambahkan kecap. Nama mie kopyok berasal dari proses pencelupan mie dan toge ke dalam air panas mendidih yang terlihat seperti dikopyok-kopyok. Rasanya? Saya, suami, dan bapak mertua yang siang itu juga ikut serta kompak mengidentifikasi rasa mie kopyok ini seperti lontong balap Surabaya minus petis. Jadi kalo penasaran seperti apa rasa mie kopyok itu? Bayangin aja gimana rasanya lontong balap tanpa petis, ya seperti itulah rasa mie kopyok ini.. Harga per porsinya cukup murah, hanya Rp 10.000 saja.
Masih belum puas, setelah masing-masing menghabiskan sepiring mie kopyok, kami diajak jalan sedikit ke warung tenda lain yang ada di seberang warung mie kopyok Pak Dhuwur. Di spanduknya tertulis gado-gado dan es pankuk Pak Yono.
Es pankuk ini unik juga, terdiri dari 3 scoop es puter rasa kelapa muda, coklat, durian+alpukat, irisan pancake (pankuk), dan irisan agar-agar warna hijau. Dan rasanya? Jangan ditanya.. segeeeer banget! Cocok banget dinikmati di tengah teriknya cuaca Semarang.
Seru-Seruan di Klenteng Sam Poo Kong
Semarang panas! Itu yang saya rasakan. Err sepertinya bukan saya aja siih yang ngerasa kepanasan, teman-teman lain pun pasti juga merasakan hal yang sama. Semarang panasnya ampun! Tapi walaupun semua mengaku kepanasan, gak satu pun dari kami yang menolak sewaktu diajak singgah di Klenteng Sam Poo Kong. Sebuah kawasan yang didominasi warna merah ini dipercaya sebagai tempat persinggahan pertama Laksamana Cheng Ho.
Menghabiskan Sore di Kota Lama
Cuaca Semarang mulai menghangat, kami melanjutkan perjalanan menuju kawasan Kota Lama. Sewaktu kami datang, di depan Gereja Blenduk sedang ada yang melangsungkan foto pre-wedding. Romantis banget! Dan seolah gak mau kalah ama pasangan yang berfoto pre-wedding, kami pun bergantian berpose ala-ala di depan Gereja Blenduk.
Ahh.. bersama kalian matahari sore itu terasa lebih hangat dari biasanya.
Di Tengah Megahnya MAJT
Kami menunaikan sholat ashar sekaligus menunggu maghris di masjid kebanggan warga Semarang ini. Masjid inilah salah satu tempat yang paling ingin saya kunjungi di Semarang. Dan alhamdulillah, saya bisa sujud di sini bersama sahabat-sahabat yang luar biasa.
Kami pun tak melewatkan kesempatan untuk naik ke atas menaranya. Untuk naik ke atas menara pengunjung hanya perlu membayar tiket seharga Rp 7.000 per orang. Subhanallah! Pemandangan Kota Semarang dari atas menara 99 meter ini luar biasa cantik! Buat yang pengen ‘mengintip’ lebih jelas setiap sudut Kota Semarang, di atas sana juga tersedia teropong. Teropongnya pake koin seribu rupiah. Saya dan suami bergantian ‘mengintip’ pelabuhan Tanjung Emas. Jelas banget looh, sampe keliatan tulisan ‘Port of Tanjung Emas Semarang’.
Dan akhirnya, kebersamaan dan keseruan kami seharian itu berakhir di warung Mbak Tum yang ada di daerah Peterongan. Huaaaa.. rasanya gak rela sewaktu berpamitan. 12 jam yang terasa singkat bersama teman-teman yang menyenangkan. Semoga persahabatan kita abadi yaa.. Sampai ketemu lagi di lain kota.