Home Lomba Blog KTF 2017 Denting Sasando di Oebelo

Denting Sasando di Oebelo

oleh

Sadar atau tidak, desain mata uang Rupiah telah membuat kita banyak belajar. Belajar mengenali pahlawan nasional, juga belajar mengenali seni budaya. Saya sendiri merasakan dampak tersebut. Karena gara-gara uang pecahan 5.000 yang beredar di tahun 90-an, saya jadi tahu nama danau Kelimutu dan sebuah alat musik tradisional NTT yang bernama Sasando. Namun hingga akhirnya dewasa, saya belum pernah sekalipun melihat secara langsung wujud Sasando itu.

Baru sekitar tujuh tahun yang lalu, saya akhirnya melihat wujud dan mendengar suara Sasando lewat sebuah acara pencarian bakat di televisi. Berto Pah nama pemainnya. Lihai sekali dia. Tangannya lincah memetik dawai-dawai Sasando, dan sukses menerjemahkan setiap denting ke dalam notasi lagu-lagu populer. Luar biasa. Saya pun berandai-andai kapan kiranya bisa melihat instrumen unik tersebut lebih dekat.

Pertanyaan itu pun terjawab bulan lalu. Saat saya berkesempatan pergi ke Kupang dan menyempatkan mendatangi Rumah Sasando, yang ada di Oebelo, Kabupaten Kupang Tengah, Nusa Tenggara Timur.

Oebelo sendiri dikenal sebagai perkampungan petani garam. Sehingga tak heran, di sepanjang jalan saya menuju Rumah Sasando, mudah sekali menjumpai penjual garam di kanan-kiri jalan.

Menurut penjelasan pengemudi yang mengantar saya ke Rumah Sasando, garam tersebut tidak didapat dengan menjemur air laut seperti yang kerap kita jumpai di tambak-tambak garam umumnya. Melainkan, dengan diolah (dimasak) berjam-jam hingga air mengkristal dan menjadi garam. Dan hasilnya kemudian dikemas, ke dalam tabung panjang yang dibuat dari daun lontar.

Tapi tidak seperti penduduk Oebelo yang bergantung pada olahan garam, penduduk Oebelo yang satu ini justru memanfaatkan lontar menjadi bahan lain. Apalagi kalau bukan untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembuat Sasando.

Ya, saya akhirnya tiba di tujuan. Di sebuah rumah sederhana, berlantai tanah, beratap asbes, dan berdinding batang lontar. Tidak jelas plang penandanya. Tapi sebuah tulisan: ‘Pengerajin Sasando’ di salah satu bagian dinidingnya, terasa cukup membantu.

Berhubung siang hari, suasana Rumah Sasando terasa sepi. Hanya terdengar denting merdu Sasando yang dimainkan oleh seorang pria muda di sudut ruangan. Bukan hanya berupa lagu-lagu kebangsaan seperti Indonesia Pusaka saja, lagu masa kini yang tengah hits milik Ed Sheeran pun tak ketinggalan dimainkan.

Ia mengenalkan diri sebagai salah satu anak dari pemilik rumah. Selain dirinya, ada pula beberapa pengerajin dan seorang ‘mama’ (ibu-ibu) yang menemani saya di Rumah Sasando tersebut.

Ternyata, rumah sederhana ini milik bapak sepuh asal Rote bernama Jeremiah Pah. Ia sekeluarga, sudah memainkan Sasando secara turun-temurun. Dimulai sejak masa nenek moyangnya hingga kini ke anak-cucunya. Dan ternyata lagi—usut punya usut, beliau adalah bapak dari Berto Pah yang dulu pernah saya lihat di TV itu! Ah, dunia ternyata sempit, kawan!

Bersama sang adik—yang saya lupa namanya itu—saya dijelaskan mengenai sejarah singkat Sasando. Bahwa alat musik ini sudah dimainkan masyarakat Rote sejak abad ke-7! Dan dulu, dengan desainnya yang sederhana, Sasando memanfaatkan lekukan daun lontar kering sebagai alat resonansi suara. Oh…terjawab sudah soal lekukan serupa cangkang kerang yang ada di belakang Sasando itu.

Seiring waktu, Sasando mengalami banyak improvisasi. Dan hal ini tak lepas dari peran Pak Jeremiah sebagai maestro yang membuat Sasando lebih user friendly. Selain membuat bagian ‘cangkang’ Sasando lebih ringkas (dibuat menjadi lipatan seperti kipas), Pak Jeremiah juga membuat Sasando menjadi elektrik. Tak perlu lagi ‘cangkang’ daun lontar itu sebagai alat pengeras. Tinggal disambungkan ke kabel pengeras suara, denting Sasando bisa mengudara dengan lantang layaknya gitar elektrik.

Saya sempat mencoba memainkan alat musik khas Pulau Rote ini. Dengan bantuan adik Berto Pah tersebut, saya mengetahui kalau Sasando sudah mengalami perubahan nada. Dari yang semula seperti nada pada gamelan, kini menjadi solmisasi. Persis seperti yang terjadi pada angklung saat Mang Udjo memodifikasinya.

Ketika saya mencoba memainkan Sasando—yang ternyata susah!—salah seorang mama yang ada di sana mengatakan saya harus menggunakan topi Ti’i Langga sekaligus kain tenun khas Rote. ‘Biar menghayati,’ katanya. Saya pun menurut saja. Tapi bukannya makin konsentrasi, fokus saya malah buyar karena lebih pengin difoto daripada belajar main Sasando. Haha.

Di samping rumah Pak Jeremiah, ada pula sebuah workshop yang dimanfaatkan untuk membuat Sasando. Mulai dari yang kecil untuk gantungan kunci, yang sedang untuk pajangan di rumah, bahkan yang besar untuk dimainkan sungguhan, bisa kita lihat proses produksinya di sini. Selain itu, kain tenun khas Rote pun dibuat di sini. Kita bisa membelinya dengan harga bervariasi.

Sayang sekali kemarin saya tak bertemu Pak Jeremiah. Kata anaknya yang tadi menemani, beliau sedang istirahat siang. Duh, salah sendiri ‘bertamu’ siang-siang. Hehe. Tapi tak mengapa, saya sangat puas dengan kunjungan hari itu. Saya jadi belajar hal baru, sambil diam-diam berharap…

Semoga regenerasi pemain Sasando tak berhenti hanya pada keturunan Pak Jeremiah saja. Dan semoga denting Sasando makin nyaring, bahkan hingga ke seluruh penjuru dunia.

 

catatan: tulisan ini juga penulis tampilkan di blog pribadi penulis http://www.doubletrackers.com/

Oleh : Hening Swastikaningrum

[gravityform id=”40″ title=”true” description=”false”]