Tersebutlah sebuah kampung bernama Sungai Utik. Kampung ini berada di wilayah Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Nama Sungai Utik diambil dari sungai yang mengairi daerah ini sepanjang masa. Menurut cerita turun-temurun, Dayak Iban yang kini bermukim di tepian Sungai Utik ini, dahulu mendiami daerah Lanjak, tak jauh dari perbatasan dengan negeri jiran, Malaysia.
Kala itu, mereka meyakini bahwa daerah Sungai Utik adalah tanah penuh harapan. Tanah subur yang menjanjikan penghidupan lebih lama. Maka, mereka pun meminta ijin kepada masyarakat Dayak Embaloh yang ‘menguasai’ daerah itu, agar bisa menempati “tanah penuh harapan” itu.
Ijin diterbitkan, tapi dengan satu syarat, masyarakat Dayak Iban harus menjauhi peperangan antarsuku. Syarat itu pun diamini masyarakat Dayak Iban. Maka, mereka mulai berpindah dari Lanjak ke Sungai Utik pada awal 1800-an. Mereka pun membangun dan mendiami sebuah rumah panjang atau yang biasa disebut Rumah Betang. Beberapa kali, mereka memindahkan Rumah Bentang ini. Rumah Betang yang saat ini berdiri, dibangun pada era 1970-an dan telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.
Rumah Betang ini membujur sepanjang 200 meter dengan 37 pintu. Pintu merupakan istilah untuk satu bilik dalam rumah betang. Di antara bilik terdapat sebuah jendela yang menghubungkan bilik yang satu dengan lainnya. Sekitar 70 keluarga hidup bersama dalam rumah ini. Mereka juga menggelar beragam ritual adat di dalam rumah yang besar ini. Masyarakat yang hidup di rumah ini masih menghidupi dan menggenggam adat istiadat.
Rumah yang panjang ini berbentuk panggung yang ditopang ratusan kayu ulin. Ada beberapa tangga untuk mencapai lantai rumah ini. Bagian depan Rumah Betang serupa halaman depan rumah, namun berlantaikan kayu yang disusun. Sementara di tengah, terdapat satu ruang luas seperti sebuah aula yang membentang dari ujung yang satu ke ujung yang lain. Di belakang aula ini terdapat bilik-bilik, sementara dapur di bagian paling belakang.
Untuk mencapai Rumah Betang ini membutuhkan perjalanan panjang. Jika menggunakan jalur darat, perjalanan dari Pontianak, ibukota Kalimantan Barat harus ditempuh sejauh 647 kilometer atau sekitar 24 jam perjalanan darat. Jika tak mau terlalu lelah, perjalanan bisa menggunakan pesawat terbang dari Bandar Udara Supadio Pontianak menuju Putusibau. Dari Putusibau, perjalanan dilanjutkan dengan perjalanan darat sekitar satu jam. Atau jika mau tantangan yang lebih ekstrem, bisa menggunakan jalur sungai dari Putusibau menuju tempat ini. Sepanjang perjalanan menuju tempat ini, panorama hutan belantara yang masih asri akan menjadi suguhan yang memanjakan mata.
Meskipun Rumah Betang ini belum dialiri listrik, banyak penghuninya yang telah memiliki telepon selular. Lantaran, banyak orang muda dari kampung ini yang merantau hingga negeri tetangga. Mereka memanfaatkan diesel sebagai sumber listrik. Bahkan, beberapa penghuni Rumah Betang ini telah mengenyam hingga pendidikan tinggi.
Dari masa ke masa, masyarakat Dayak Iban akan terus menghidupi tradisi, sembari menjaga kelestarian hutan. Kearifan tradisional ini pun membuahkan hasil. Wilayah ini telah ditetapkan sebagai desa adat pertama yang meraih penghargaan sertifikat ekolabel dari Lembaga Ekolabel Indonesia.
Maka, selama hutan masih bestari dan Sungai Utik masih mengalir, kehidupan masyarakat Dayak Iban masih penuh harapan. Seperti harapan para leluhur mereka, kehidupan masyarakat Dayak Iban masih akan terus membujur sepanjang Rumah Betang, tempat tinggal mereka.