Indonesia memang keren. Beragam tradisi dan upacara ritual di tiap daerah memiliki ciri khas yang tidak ditemukan di daerah lainnya. Unik sekali. Sebagai contoh, upacara bakar tongkang di Kota Bagansiapiapi, Riau.
Bakar tongkang atau go ge cap lak dalam bahasa Tionghoa dapat diartikan sebagai tanggal 15–16 bulan 5 dalam penanggalan China (Imlek). Oleh karena itu, tradisi ini diadakan setiap tahun.
Bagi warga Tionghoa di Bagansiapiapi, upacara bakar tongkang memiliki makna istimewa. Menurut kepercayaan mereka, dewa telah membawa para leluhur dengan selamat di Kota Bagansiapiapi akibat perang saudara di China beberapa ratus tahun yang lalu.
Dalam perjalanan menuju Bagansiapiapi, warga membawa patung Dewa Ki Ong Ya. Konon, pendatang dari China yang sampai pertama kali di Bagansiapiapi berjumlah 18 orang, terdiri atas 17 laki-laki dan 1 perempuan. Semuanya bermarga Ang.
Mereka adalah Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian, dan Ang Tjie Tui.
Masih menurut keyakinan setempat, jika acara ini tidak diikuti, hidup seakan tanpa arah dan tujuan. Kesuksesan pun tidak ada artinya. Para leluhur masyarakat Tionghoa yang menemukan Kota Bagansiapiapi bertekad untuk tidak kembali ke tempat asal dengan membakar kapal tongkang.
Substansi dari pembakaran kapal merupakan upacara peringatan kepada Dewa Laut Ki Ong Yan dan Tai Su Ong. Kedua dewa ini merupakan gambaran atas dua sisi: baik-buruk, suka-duka, rezeki-bencana.
Dihadiri ribuan warga
Upacara bakar tongkang selalu meriah. Namun, tahun ini, agenda bakar tongkang ditiadakan demi mencegah penyebaran Covid-19. Sebelum pandemi, acara ini bisa dihadiri lebih dari 60 ribu warga, termasuk wisatawan domestik dan mancanegara.
Puncak acara bakar tongkang ditandai dengan pembakaran replika kapal tongkang yang di atasnya terdapat sejumlah patung dewa pada pukul 14.00. Sebelumnya, diadakan prosesi pemberangkatan kapal tongkang menuju area pembakaran.
Pagi harinya, warga Tionghoa di Bagansiapiapi melaksanakan doa bersama di Kelenteng Ing Hok King. Kelenteng ini dinilai sakral karena merupakan satu-satunya bangunan yang selamat dan utuh saat terjadi kerusuhan pada 15 September 1998.
Tradisi bakar tongkang sempat dilarang pada masa pemerintahan Orde Baru. Namun, semenjak era Presiden Abdurrahman Wahid, tradisi ini kembali dihidupkan dan berkembang. Kini, bakar tongkang menjadi salah satu tradisi khas milik masyarakat Bagansiapiapi.
Acara ini pun telah masuk pada kalender wisata di Riau. Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir dan Pemerintah Provinsi Riau selalu mempromosikan agenda tahunan ini.