Home Mau Ngapain?Wisata Sejarah dan Budaya Jembatan Cirahong, Sebuah Misteri Cagar Budaya

Jembatan Cirahong, Sebuah Misteri Cagar Budaya

oleh Tyas Ing Kalbu

Sebuah kereta api melaju kencang di atas jembatan yang terbuat dari besi dan susunan kayu. Di bawahnya, di dalam lorong jembatan, sejumlah sepeda motor melintas. Berpuluh meter di bawahnya, terbujur yang sungai mengalir deras, memotong tebing yang menghijau.

Inilah Jembatan Cirahong yang fenomenal. Membentang antara Cirahong, Kabupaten Ciamis, dan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, jembatan yang kerangkanya terbuat dari baja bercat keperakan dan biru ini sekilas tak ada yang istimewa. Namun, konstruksi jembatan yang terus melintang melintasi zaman inilah yang menjadi pusat perhatian.

Jembatan era kolonial

Jembatan Cirahong dibangun pada masa pemerintahan Herman Willem Daendeles (1808–1811) pada masa kolonial Belanda. Hingga kini, bentuk Jembatan Cirahong tak berubah. Baja rangka Jembatan Cirahong yang telah berdiri selama dua abad ini pun hampir tak mengalami keropos dimakan karat.

Baja yang bersilangan seakan membentuk semacam lorong sepanjang 200 meter dengan tinggi sekitar 6 meter. Dengan ukuran ini, Jembatan Cirahong menyisakan ruang selebar kurang lebih 2 meter. Fondasinya, baja berbentuk setengah lingkaran memberikan topangan. Tiga lengkungan busur di bagian bawah jembatan masing-masing bertumpu pada tiang beton sebagai pasak.

Di bagian atas Jembatan Cirahong, terdapat rel kereta jurusan Jakarta–Yogyakarta. Sedangkan di bagian bawahnya, mengalir Sungai Citanduy. Untuk memfasilitasi mobilitas penduduk, di dalam lorong jembatan disusun dua lapis kayu, tanpa lapisan beton, tanpa lapisan besi.

Mampukah susunan kayu ini menopang beban alat transportasi yang melintasinya? Sebab kayu-kayu yang berjajar ini memiliki masa keausan. Oleh karena itu, selain perawatan dan pengecatan, PT Kereta Api Indonesia (KAI) selalu mengecek kondisi kayu dan menggantinya tiap 2–3 tahun sekali.

”Dari dulu, bentuk Jembatan Cirahong memang seperti ini dan ukurannya tidak berubah. Paling cuma kayu jembatan saja yang diganti secara berkala oleh PT KAI,” ungkap Dedi, warga sekitar Jembatan Cirahong yang mengatur dan mengawasi arus lalu lintas kendaraan keluar-masuk Jembatan Cirahong.

Dedi merupakan salah satu warga yang berinisiatif membantu mengatur lalu lintas kendaraan di sana. Alasannya, dengan lebar sekitar 2 meter, jembatan ini hanya cukup dilalui satu mobil tanpa berpapasan dengan kendaraan lain. Padahal, Jembatan Cirahong menjadi salah satu akses utama masyarakat Cirahong (Ciamis) dan Manonjaya (Tasikmalaya). Oleh sebab itu, harus ada yang mengaturnya.

Setidaknya ada 50 orang pengatur lalu lintas di lorong Jembatan Cirahong dari kedua sisi. Mereka dibagi menjadi lima shift dalam sehari. Begitu pentingnya peran pengatur lalu lintas ini membuat jasa mereka patut dihargai. Pengemudi yang menyeberang melalui jembatan ini cukup memberi tips secara sukarela.

Disambangi turis Belanda

Keunikan Jembatan Cirahong ini juga menarik minat masyarakat daerah lain. Tak heran jika kita bisa menjumpai pasangan yang melakukan foto pre-wedding dengan latar jembatan ini. Bahkan, Jembatan Cirahong acap disambangi turis dari Belanda. Mereka mengunjungi tempat ini karena kagum akan peninggalan leluhurnya.

Ada cerita bahwa masyarakat Belanda masa kini masih belum bisa memecahkan rahasia arsitektur Jembatan Cirahong yang kokoh berdiri hingga ratusan tahun lamanya. Memang hingga kini, seolah belum ada jembatan lain yang menyamai struktur Jembatan Cirahong yang mampu bertahan lama seolah tak peduli putaran waktu di bumi.

Bisa dibilang, Jembatan Cirahong tak mengalami kerusakan yang berarti. Kalaupun muncul karat, ini pun bisa segera diatasi.

Cagar budaya

Meski terbilang perkasa hingga sekarang, jembatan ini tetap mencatatkan sejumlah kecelakaan kecil. Landasan jembatan dari susunan kayu inilah yang jadi sumber masalah. Ban sepeda motor yang terjepit di sela-sela kayu sudah terjadi beberapa kali. Demikian pula pengendara motor yang terjatuh akibat susunan kayu yang bergelombang.

Luas lorong Jembatan Cirahong  yang terbatas juga membuat arus lalu lintas hanya berjalan satu arah. Pun jembatan ini tak bisa dilalui kendaraan umum dan kendaraan besar seperti truk. Kendaraan yang hendak melintasi jembatan ini juga harus bergiliran dari ujung ke ujung. Pernah ada mobil mogok di tengah jembatan, akibatnya sejumlah orang dikerahkan untuk mendorong mobil itu. Hal ini menimbulkan kemacetan di sekitar Jembatan Cirahong.

Dulu, Jembatan Cirahong sempat dipandang sebagai daerah ”hitam”. Penyebabnya tak lain karena posisinya yang terbilang jauh dari permukiman dan minim penerangan. Akibatnya, area di sekitar jembatan menjadi rawan kriminalitas.

Namun, pamor Jembatan Cirahong mulai terangkat ketika pemerintah menetapkannya sebagai salah satu benda cagar budaya beberapa tahun yang lalu. Masyarakat pun mulai memperhatikan kondisi Jembatan Cirahong dan melihatnya sebagai peluang ekonomi.

Teknologi pembangunan jembatan dua abad lalu masih menyisakan banyak pertanyaan. Kalau dulu mungkin tak banyak melintas kendaraan, tetapi kini jembatan tersebut sudah dilalui ribuan kendaraan. Apakah ketangguhannya masih bisa bertahan hingga puluhan tahun ke depan?

Artikel yang mungkin kamu suka