Tak bosan-bosannya saya berlibur ke Yogyakarta, meski seputar kota saja untuk kuliner dan sekedar berburu batik dan oleh-oleh. Kami bertiga naik Kereta Sancaka dari Surabaya, pukul 08.00 pagi.
Stasiun Tugu 5 jam kemudian, pusat makanan tradisional depan stasiun dekat pos polisi Malioboro jadi pilihan. Sate ayam, versi Madura dengan bumbu kacang yang kental, irisan bawang merah segar ditambah kecap manis, cukup mengenyangkan. Harga terbilang cukup mahal, pasrah karena lapar.
Poncowinatan, hotel sederhana, bersih, dekat tugu dan pasar, tujuan kami bermalam. Setelah registrasi, taruh koper, ganti tas ringan, lanjut jalan kaki menuju monument tugu, lupa akan lelahnya berkereta, tak mau ketinggalan berfoto.
Jalan sedikit, foto lagi depan Restorant Hondje yang berbangunan model jaman Belanda, dengan outlet tas Dowa yang terkenal itu. Tibalah di jalanan Malioboro, padat dan macet. Malas belanja.
Menjelang senja, isi bensin di lesehan dekat pasar Bringharjo. Perlu tenaga sampai tengah malam, rasa nomer sekian. Sore ini 31 Desember. Semua bersiap-siap menyambut malam Tahun Baru di titik nol kilometer. Gudeg jadi-jadian, mie, tahu tempe bacem ala kadarnya tetap kami syukuri.
Saya pribadi sudah 3 kali menikmati malam pergantian tahun, ditemani kacang rebus dan pisang goreng. Baru jam 7 namun kami sudah duduk manis di seberang gedung BNI. Sayangnya kakak teman bosan menunggu, dia ajak pindah tempat. Padahal sudah penuh orang. Pengalaman saya berkata untuk tetap disitu saja tidak mempan. Akhirnya kami ikuti saja maunya. Dan terjadilah yang saya inginkan, pembuktian, sudah tidak bisa jalan kemana-mana. Lautan manusia terus berdatangan dari 4 penjuru, dari malioboro, keraton, kantor pos dan Bank BNI. Ya sudahlah. Berdiri diam ujung benteng Vredenburg.
Hitung mundur, 10987654321, kembang api berlomba meluncur, pandangan ke atas, warna-warni dan gemuruh berhentakan. Tangan-tangan sibuk ambil foto semaksimal mungkin, tak lupa bersalam-salaman selamat tahun baru 2015.
Kembali ke penginapan, harus berjuang lewati lautan manusia, akhirmya kami menyerah, becak motor kami panggil di ujung jalan Malioboro. Penat melupakan ucapan selamat yang belum terkirim.
Pagi menjelang, sarapan nasi goreng, kerupuk, semangka, boleh ambil bebas. Duduk di tempat makan yang kurang nyaman, karena terletak di depan kamar-kamar dengan kamar mandi disamping kamar sehingga kami bisa mendengar orang mandi, orang gosok gigi dan sepintas orang BAB, hiksss. Mungkin perlu perbaikan management hotel dalam merancang lokasi tempat makan.
Pasar Bringharjo tujuan pertama. Becak bertiga sekitar 20.000 rupiah. Tergoda sarapan nasi pecel. Sayur mayur hijau menggunung, tempe, tahu bacem, gorengan masih sanggup masuk perut. Belanja batik, tawar-menawar, putar-putar sambangi para kios.
Toko berikutnya Mirota Batik, tepat depan pasar Bringharjo. Ada kain, busana, pernik tradisional khas Yogyakarta, tak lupa bakpia mini raminten. Tetap penuh sesak namun berAC. Jadi ceritanya kami ingin mendinginkan badan. Nuansa jawa kental oleh musik gamelan, lagu jawa, ya iyalah. Bau dupa menyan kembang tercium sesekali. Terima kasih Tuhan, daripada mencium bau keringat tujuh turunan, maaf berlebihan.
Kami langsung ke lantai tiga, makan siang di restorant Oyot Godhong, lesehan, bangku kayu, bau kembang setaman dan ornament kayu. Rindu gado-gado Yogya, agak berbeda dengan versi Surabaya dan Jakarta, yang lain pesan bakso, nasi rames, es dawet dan wedang uwuh (sampah bahasa Indonesia), wedang khas campuran serpihan kayu secang dan rempah-rempah, cocok untuk menghangatkan badan. Berasa minum serpihan kayu. Unik.
Masih ingin oleh-oleh. Naik 2 becak kayuh. Jalanan di Yogyakarta yang naik turun membuat si tukang becak paruh baya kelelahan. Faktor kasihan alasan kami memilihnya. Dua pabrik bakpia kami datangi. Bakpia 75 lebih tebal kulitnya, bakpia 55 lebih tipis, namun keduanya menghasilkan rasa kacang hijau yang sedap. Konon, bakpia kurnia sari, kulitnya berwarna hijau, rasanya lebih ok namun untuk saya tetap bakpia 75 yang top. Maaf bukan promosi, ini selera subyektif saya.
Malamnya kami di taman lampion dekat Monumen Yogya Kembali (Monjali), naik taxi, lupakan ala backpacker, pertimbangan malam hari, tidak tahu jalan dan jauh sekali dari hotel. Bayar 90ribu pulang pergi. Bayar karcis, masuk disambut bentuk-bentuk pohon, binatang, orang, wajah presiden-presiden Indonesia diberi hiasan lampu-lampu gemerlap. Sayang kamera kami kurang kuat menangkap cahaya dan gelap sehingga kurang maksimal. Tak banyak yang bisa kami nikmati apalagi permainan anak dan gerai camilan ringan. Saat pulang agak kesulitan mencari taxi,jarang mangkal dan lewat. Mohon transportasi dipermudah dengan shuttle bus.
Hari terakhir di Yogya. Setelah sarapan, bergegas kami pergi ke resto Raminten deket kali Code, yang sedang naik daun, karena keunikan makanan dan minumannya, konon harus antri menunggu dengan sabar, lebih baik tidak sedang lapar. Semangat jalan kaki, tidak terlalu jauh. Masih sepi, dan itu yang diharapkan leluasa pilih duduk. Kami pesan ayam koteka, daging ayam yang sudah dihaluskan dimasukkan ke dalam buluh bamboo sehingga sepintas memanjang seperti koteka, juga susu rempah-rempah yang dihidangkan dalam cangkir berbentuk payudara bernama Perawan Tancep. Puas. Kami lalu bergegas keluar. Tepat jam 11, pengunjung sudah mengular di luar.
Sebelah resto, ada Mirota Bakery, mata berbinar-binar membeli roti, jajanan pasar dan kue mini aneka rupa ,masih grup Raminten. Saya beli kue kipo khas Yogyakarta, berasal dari sebutan Iki Opo (ini apa) merujuk pada bentuknya yang kecil-kecil, orang heran dan bertanya, dari tepung ketan, parutan kelapa dan gula merah namun dipanggang bukan dikukus seperti klepon.
100 meter setelahnya kami mampir museum Sandi, museum ini baru berdiri sekitar 6 bulan, belum banyak dikunjungi. Banyaknya wisatawan ke Raminten tidak menggelitik mereka untuk singgah. Mungkin kurang promosi. Setengah jam di museum ini, guide menerangkan sejarah persandian Indonesia, behubungan dengan kedudukan Yogyakarta di jaman perang. Kami tambah ilmu, selain kuliner, oleh-oleh dan kenangan.
Matahari diatas kepala, kami berpisah. Kereta Sancaka siang ini sedangkan saya nanti malam jam 7 dengan kereta Arya Dwipangga tujuan Jakarta.
Saya pergi makan siang di restoran Bale Raos, ingin mencicipi menu raja keraton. Letaknya dekat Taman Sari. Naik becak dari depan jalan Malioboro sekitar 30.000 rupiah. Model restoran terbuka, seperti duduk di teras rumah-rumah Belanda jaman dulu, tanpa AC, dekorasi etnik, tempat duduk kayu, taplak batik, nuansa jawa tetap menghiasi tempat ini namun didisain ekslusif serasa tempat makan berkelas.
Tertarik dengan Singgang Ayam, sate bumbu rempah, cukup direbus tapi tetap ditusuk, dan teh rempah, lagi-lagi untuk menghangatkan badan, dessertnya pudding dari buah coklat. Harga kebanyakan diatas 20 ribu dengan porsi sedang ala hotel bintang 5 . Cukup untuk mengobati rasa penasaran saya sebelum pulang.
Yogyakarta tetap membuatku rindu kembali