Tak ada salahnya mengunjungi tempat yang sering didatangi oleh masyarakat lokal ketika berkunjung ke negara lain. Di sinilah, kita dapat lebih mengenal masyarakat tersebut dari cara mereka berkegiatan dan bersosialisasi. Tentu mengunjungi lokasi terkenal merupakan nilai plus, namun saya tidak menutup kemungkinan untuk pergi ke tempat-tempat yang malah belum terjamah oleh para wisatawan.
Di Korea Selatan, negara yang saya kunjungi ini, memiliki banyak tempat wisata buatan yang dikelola dan didesain sedemikian rupa hingga menarik dan mendatangkan banyak pengunjung. Di antaranya, ada area yang direnovasi agar dapat digunakan sebagai tempat bersantai masyarakat lokal. Salah satu tempat buatan yang ingin saya kenalkan adalah taman yang berada di Seoul, Korea Selatan. Inilah World Cup Park, sebuah area terbuka yang dibangun atas dasar kepedulian akan lingkungan.
World Cup Park memiliki lima taman yaitu Pyounghwa (kedamaian), Haneul (langit), Noeul (matahari terbenam), Nanjicheon, dan Nanji Hangang Park, serta sebuah stadion olahraga yang bernama World Cup Stadium. Secara kasat mata, kelima taman ini memiliki perbedaan dengan taman biasa yakni dari segi ketinggian layaknya sebuah bukit. Ternyata bukan sembarang bukit, taman ini dibentuk dari tumpukan sampah yang menggunung kemudian ditutup menjadi sebuah taman. Hal inilah yang kemudian membuat saya dan beberapa rekan memutuskan untuk mengikuti kegiatan eco-activity yang diselenggarakan oleh Museum World Cup Park, untuk menjawab rasa ingin tahu kami terhadap taman ini.
Area World Cup Park dulunya hanya tempat pembuangan sampah yang menumpuk dan menyebabkan polusi pada tanah dan air, sehingga mendapat julukan Island of Death. Kemudian tercetuslah sebuah rencana untuk perubahan. Pemerintah kota Seoul menyulap tempat ini sebagai ruang terbuka, dengan lima buah taman besar yang didirikan di atas tumpukan sampah. Saat projek perubahan ini berlangsung, ternyata Korea Selatan didaulat menjadi tuan rumah dalam FIFA World Cup pada tahun 2002. Dengan adanya tanggungjawab sebagai tuan rumah, maka progres pembuatan taman masyarakat ini dipercepat dan selesai lebih awal dari waktu yang diperkirakan. Untuk pertama kalinya, World Cup Park dibuka untuk umum pada Mei 2002.
Taman ini bukan hadir dengan sendirinya karena berasal dari alam. Ada usaha dan peluh masyarakat untuk menyelamatkan lingkungan. Sejarah tentang asal mula penumpukan sampah hingga terbentuknya lima taman besar di atasnya, tertuang dalam Museum World Cup Park. Di sinilah saya dan teman-teman mendengarkan penjelasan tentang sejarahnya dan ikut serta dalam eco-activity yaitu menghias sebuah kaos bertemakan World Cup Park. Hiasannya sungguh mudah, kami hanya diminta untuk menuliskan tulisan dalam bahasa Korea yang berarti Noeul Park.
Sambil menunggu hasil karya kering, kini giliran saya dan teman-teman melihat sendiri bagaimana karya perubahan ini. Karena keterbatasan waktu, kami hanya mengunjungi satu taman yaitu Haneul Park. Bukit menjulang menanti kami di jembatan, tak terkira berapa banyak sampah yang tersimpan di bawahnya.
Haneul Park yang kami kunjungi, banyak didatangi oleh pasangan serta keluarga yang menghabiskan akhir pekannya untuk bersantai piknik ataupun sekedar mencari keringat dengan jogging. Tangga yang harus dilewati, serta cukup luasnya taman ini memang sangat baik untuk sarana berolahraga mudah dan murah. Sesungguhnya pemandangan yang ditawarkan tidaklah banyak karena kebanyakan adalah rumput ilalang. Sederhana memang, namun taman ini dapat memberikan banyak hal, bukan hanya kesehatan tapi juga pemahaman akan lingkungan dari sejarah yang melekat pada taman ini.
Turun dari taman, ada area terbuka lain di World Cup Park yaitu area air mancur. Tempat ini juga bisa digunakan untuk bersantai meregangkan otot kaki yang capai menaiki bukit. Selain itu, di dekat World Cup Stadium juga terdapat peminjaman sepeda bagi siapapun yang ingin menggunakannya.
Sebagian besar yang terekam oleh mata di Noeul Park memang hanyalah rumput ilalang. Saya memang bukan warga Korea Selatan, tapi saya melihat perubahan dari ‘kematian’ menjadi ‘kehidupan’. Kini tak ada lagi sampah yang membuat masyarakat enggan untuk terlibat. Yang ada kini adalah tangan terbuka masyarakat untuk datang berkumpul dan berbagi waktu. Pula, taman ini mengingatkan kita semua yang datang agar selalu peduli kepada lingkungan.
Tulisan ini juga dipubliskan di blog pribadi : http://www.emmasabatini.com/2017/04/world-cup-park-taman-dari-tumpukan
Oleh : Emmanuela Sabatini
Silakan login/daftar akun kompas.id untuk dapat melakukan voting