Setiap pura di Pulau Dewata mempunyai kemagisan tersendiri. Ada jenis pura yang diklasifikasikan berdasarkan fungsi khusus untuk menggelar beberapa ritual keagamaan Hindu dharma sesuai penanggalan Bali. Ada pula yang berdasarkan latar historis berbeda-beda.
Misalnya saja, Pura Beji. Letaknya di Desa Sangsit, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Jaraknya sekitar 8 kilometer di sebelah timur Singaraja. Sebagian bangunannya sekilas tampak berwarna merah muda, diduga akibat paparan sinar matahari dan hujan.
Pura Beji merupakan tempat penyembahan Dewi Sri yang diyakini sebagai lambang kemakmuran dan kesuburan, berkaitan erat dengan bidang pertanian. Lingkungan pura juga dikenal sebagai lingkungan Pura Subak untuk Desa Adat Sangsit, menaungi 240 kepala keluarga yang mayoritas bekerja sebagai petani. Di sinilah masyarakat mengadakan upacara pemujaan kepada Dewi Sri untuk memohon kesuburan pada lahan pertanian.
Diperkirakan berdiri sejak abad ke-15 pada era Majapahit, lingkungan pura memiliki kekhasan tersendiri. Ukiran memenuhi semua bagian pura, selintas tidak ada satu celah pun yang luput dari ukiran. Ditambah lagi, gaya Buleleng begitu melekat. Ini ditunjukkan dengan ukiran bentuk tumbuh-tumbuhan yang merambat dan motif bunga yang bernapaskan Bali Utara. Pada gerbang utama, terlihat ukiran dua naga sebagai penjaga pura.
Jika indera penglihatan jeli, tampak ukiran tak lazim di area dalam pura. Dua sosok menyerupai tentara sedang memegang gitar. Menurut cerita Ketut Lanus selaku pengelola pariwisata Pura Beji, kedua ukiran tersebut merupakan gambaran tentara Jepang. Kala itu, pihak Jepang ingin meninggalkan jejak melalui pengadaan relief karena mereka pernah mengadakan gelaran tari kecak dari Karangasem di lingkungan pura.
Pura Pancering Jagat
Lain Pura Beji, lain pula Pura Pancering Jagat atau Pusat Dunia yang terletak di Desa Trunyan atau Terunyan, Kecamatan Kintamani, Bangli, Bali Timur. Dikenal dengan sebutan Bali Aga, desa tua ini masih menjaga kearifan lokal sama halnya dengan Desa Tenganan dan Desa Panglipuran. Namun, kekhasan yang dimiliki bukan untuk dibanding-bandingkan, melainkan saling memberi warna dan menambah khazanah budaya.
Perjalanan spiritual kian terasa ketika memasuki lingkungan Pura Pura Pancering Jagat yang luas dengan kombinasi lanskap alam dari Bukit Truyan dan Danau Batur. Udara sejuk dengan semilir angin turut menenangkan jiwa. Keharmonisan antara Sang Pencipta dan semesta benar-benar selalu dijaga.
Terdapat bangunan meru suci yang bertumpang tujuh. Di dalamnya, tersimpan sebuah arca batu megalitik dan sangat disakralkan masyarakat lokal hingga kini. Patung tersebut berasal dari dalam bumi dan saat ditemukan terus menampakkan diri ke atas tanah. Inilah yang mengukuhkan Trunyan sebagai pusatnya Bali. [GPW]