Menyapa Bali tak melulu dipenuhi suguhan modernitas ala Denpasar, sang ibu kota. Sapaan pertama datang dari bagian utara Pulau Dewata dengan menyambangi desa kecil bernama Nagasepaha.
Wilayahnya berada di Kecamatan Buleleng, berjarak 9 kilometer dari Singaraja. Suasana tenang menyambut. Sayup-sayup terdengar suara sekelompok warga guyub mempersiapkan acara syukuran salah satu tetangga. Barisan rumah sederhana tampak berseberangan dengan bentangan sawah nan hijau. Sayangnya, beberapa lahan sudah mulai diincar pengusaha untuk dijadikan perumahan.
Tak banyak ruang workshop kerajinan yang terlihat menonjol dari sisi jalan. Namun, Nagasepaha tetap bisa memperlihatkan bahwa berkarya tak sebatas bisa mencipta dan hasil seni masyarakat Bali tak hanya bermuara di Ubud. Kesenian pun tak semata-mata meluapkan keindahan, tetapi juga ada makna terdalam atas pelestarian sebuah tradisi.
Banyak wisatawan mengira, Desa Nagasepaha identik dengan wayang kaca, padahal yang dimaksud tetaplah lukisan kaca. Suradi (32), salah satu perajin generasi ketiga yang masih bertahan, menceritakan kisah awal mula.
“Peristiwa terjadi sekitar 1927. Awalnya, ada seseorang yang menunjukkan lukisan kaca dengan obyek perempuan berkimono. Ia memperlihatkan lukisan tersebut kepada perajin wayang dan menanyakan apakah si perajin bisa membuat lukisan wayang dari kaca. Akhirnya, satu per satu lukisan dibongkar sebagai karya uji coba. Si perajin pun mampu membuat lukisan wayang di kaca. Tradisi ini terus berlanjut hingga pada akhirnya lukisan kaca baru populer pada 1996,” cerita Suradi. Cita-cita menjadikan Nagasepaha sebagai Ubud-nya Buleleng diharapkan segera terwujud.
Di Bali, faktor keturunan sangat penting memegang peranan dalam melestarikan sebuah penciptaan seni. Suradi sendiri banyak menerima siswa magang untuk terlibat, tetapi kalah dengan kejenuhan. Membuat lukisan tradisi memang berbeda dengan lukisan kanvas. Ditambah lagi, adanya pakem-pakem tertentu mengenai cawi-cawian (ukiran). Penggunaan warna prada (emas) dalam karya juga tak boleh sembarangan. Warna yang melambangkan kebesaran, keemasan, dan keagungan ini digoreskan sesuai dengan pakem yang berlaku. Bukan sekadar indah dilihat.
Suradi bertahan dengan lukisan kaca karena adanya keunikan dan keistimewaan. Perajin harus melukis dari sisi belakang kaca, bukan di depan. Ada efek pembiasan kaca sehingga warna lebih cerah dibandingkan goresan di kanvas. Hal ini dianggap unik bagi para kolektor seni. Proses pemberian cat pun hanya sekali gores karena tidak bisa dihapus atau ditumpuk dengan warna lain.
Dari tangan Suradi, lahirlah lukisan-lukisan kaca yang menjadi media baru untuk merawat tradisi Bali. Mulai pengambilan obyek tokoh-tokoh wayang, kisah dari Kitab Sutasoma, hingga penggambaran para dewa dan dewi. Lingkungan sekitar menuntut perajin menghadirkan obyek-obyek tersebut untuk kepentingan Pura. Namun, pelestarian ini tak menghalanginya ketika ingin meluapkan ekspresi lain untuk para penikmat seni maupun diri sendiri. [GPW]