Berlokasi di dua provinsi, yaitu Aceh dan Sumatera Utara, Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) membentang seluas 1.094.692 hektar. Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, TNGL meliputi Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tamiang. Sedangkan di Sumatra Utara, TNGL menempati Kabupaten Dairi, Karo, dan Langkat.
Cikal bakal TNGL bermula pada tahun 1920-an, saat pemerintah kolonial Belanda memberikan izin kepada seorang ahli geologi bernama FC Van Heurn untuk meneliti dan mengeksplorasi sumber minyak dan mineral yang kemungkinan banyak terkandung di wilayah Aceh. Namun, Van Heurn menyatakan tidak ada kandungan mineral dan menyampaikan pesan dari pemuka adat setempat agar Belanda memperhatikan barisan pegunungan yang berhutan lebat di Gunung Leuser.
Akhirnya, pada 6 Februari 1934, diadakan pertemuan di Tapaktuan yang dihadiri perwakilan pemuka adat dan pemerintah Belanda, yang kemudian menghasilkan Deklarasi Tapaktuan. Deklarasi ini menggambarkan tekad masyarakat Aceh untuk melestarikan kawasan Leuser untuk selamanya. Peraturan tersebut juga memuat sanksi pidana atas pelanggaran deklarasi.
Konservasi alam Gunung Leuser pun mengalami perkembangan. Pasca-kemerdekaan Indonesia, kawasan Gunung Leuser beserta sejumlah area di sekitarnya ditetapkan sebagai taman nasional.
Seturut Keputusan Menteri Kehutanan No 276/Kpts-II/1997 tentang Penunjukan Taman Nasional Gunung Leuser, dinyatakan bahwa TNGL terdiri atas sejumlah gabungan suaka margasatwa. Adapun suaka margasatwa tersebut, yaitu Suaka Margasatwa Gunung Leuser (416.500 hektar), Suaka Margasatwa Kluet (20.000 hektar), Suaka Margasatwa Langkat Barat (51.000 hektar), Suaka Margasatwa Langkat Selatan (82.985 hektar), Suaka Margasatwa Sekundur (60.600 hektar), Suaka Margasatwa Kappi (142.800 hektar), Taman Wisata Gurah (9200 hektar), serta Hutan Lindung dan Hutan Produksi terbatas (292.707 hektar).
Pengakuan UNESCO
Pada 2004, UNESCO mengakui potensi TNGL sebagai Warisan (Alam) Dunia. Penunjukan TNGL oleh UNESCO ini menjadi satu paket bersama TN Kerinci Seblat dan TN Bukit Barisan Selatan dengan nama “Tropical Rainforest Heritage of Sumatra”. Dengan penghargaan ini, TNGL bisa disejajarkan dengan Yellowstone dan Grand Canyon National Park di Amerika Serikat, Galapagos di Ekuador, The Great Wall di China, dan lain-lain.
Sebutan ini layak saja jika disandang TNGL, yang merupakan suaka tropis terbesar dan terkaya di dunia. Bahkan TNGL memiliki skor tertinggi dalam segi kawasan konservasi di seluruh Indo-Malaya. Kawasan TNGL memiliki 350 dari 380 spesies burung di Sumatra. TNGL juga memiliki 36 dari 50 jenis burung endemik di Sundaland. Sekitar 129 spesies mamalia dari total 205 spesies di Sumatra ada di taman nasional ini. TNGL dikenal pula sebagai habitat orangutan sumatra (Pongo abelii), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), siamang (Hylobathes lar), leaf monkey (Presbytis thomasi), dan sejumlah fauna lainnya.
Di Ketambe, Aceh Tenggara, terdapat Stasiun Riset Orangutan tertua di dunia yang didirikan pada 1971. Stasiun riset ini menjadi pusat penelitian primata, terutama orangutan. Menyusul pada 1998, didirikan Stasiun Riset Orangutan Suaq Belimbing di Aceh Selatan.
Bisa dilihat, TNGL menyimpan “harta karun” flora dan fauna yang luar biasa ragam dan jumlahnya. Sudah selayaknya jika masyarakat sekitar memiliki kesadaran tinggi sebagai benteng agar TNGL tetap terjaga kelestariannya dan mencegah pembalakan liar yang dapat merusak ekosistem di TNGL. [*]