Sebenarnya, daya magnet Trunyan telah disadari sejak dulu kala. Konon, banyak orang berdatangan karena wangi dari pohon teru menyan yang menyerbak hingga ke pelosok desa. Namun, leluhur berusaha untuk menghilangkan wangi tersebut agar pihak luar tidak berdatangan dan merusak desa.
Cerita rakyat yang berkembang ini terkait dengan budaya penduduk setempat yang tidak menerapkan sistem kremasi untuk upacara penguburan orang meninggal. Jenazah dibiarkan di atas tanah, menyatu langsung dengan alam.
Area perkuburan bisa ditempuh dengan perahu. Anda bisa berjalan menuju dermaga yang letaknya beberapa meter dari Pura Pancering Jagat. Perjalanan cukup ditempuh kurang dari 20 menit karena dibantu oleh tiga pendayung. Perahu menjadi pilihan terbaik karena kapal cepat (speed boat) dapat merusak biota air. Sepanjang perjalanan, hamparan air tenang dari Danau Batur dan kokohnya Gunung Batur jadi sajian alam yang berkesan, tidak ada kesan menyeramkan.
Terdapat tiga jenis kuburan yang diklasifikasikan berdasarkan umur orang, keutuhan tubuh jenazah, dan cara penguburan. Kuburan utama untuk jasad yang utuh, tidak cacat, serta proses meninggalnya dianggap wajar, bukan bunuh diri atau kecelakaan. Kuburan kedua (kuburan muda), diperuntukkan bagi bayi dan orang dewasa yang belum menikah dengan tubuh utuh dan tidak cacat. Kuburan ketiga diperuntukkan bagi jenazah yang cacat dan meninggal tidak wajar, misalnya korban kecelakaan atau bunuh diri.
Terpesona dengan latar alam yang menemani selama berperahu, tidak terasa papan selamat datang Kuburan Terunyan telah menyambut. Inilah kuburan utama. “Jenazah paling kanan adalah yang terbaru, baru sebulan yang lalu,” ujar salah satu warga lokal. Di sela-sela keranda, terlihat jelas pudeng (ikat kepala) dan kain yang dikenakan. Jenazah berjejer dengan 10 jenazah lainnya. Ya, hanya boleh 11 jenazah yang ada di kuburan ini. Tidak boleh lebih. Apabila ada jenazah baru, jenazah yang paling lama digeser.
Selain foto mendiang yang terpasang di keranda, ada pula payung dan peralatan makan yang berserakan di area perkuburan, mulai piring, sendok, garpu, hingga tempat nasi. Masyarakat percaya, orang-orang yang telah meninggal juga perlu dibekali karena masih ada kehidupan di alam lain. Uniknya, para turis China yang berkunjung justru memiliki kepercayaan melemparkan koin di area ini, berharap permohonan mereka terkabul.
Segala peralatan “bekal” dan lemparan koin yang berserakan tidak boleh dibersihkan. Ini juga berlaku dengan susunan tengkorak yang berada di sisi kanan kuburan. Tulang tengkorak akan hancur lebur dengan sendirinya akibat terpapar cuaca.
Setelah beberapa menit berada di Kuburan Terunyan, bau busuk yang menyengat masih saja tidak tercium. Ini berkat kehadiran pohon besar yang bernama taru menyan, pohon yang dulu mampu menyebarkan wangi ke pelosok desa. Taru berarti kayu, menyan berarti wangi. Konon, nama desa berasal dari nama pohon tersebut. Kini, bau jenazah tidak kentara, begitu juga dengan wangi pohon. Keduanya saling menihilkan. [GPW]