Home Lomba Blog KTF 2014 Perjalanan Ke Kuala Lumpur-Hatyai-Songkhla

Perjalanan Ke Kuala Lumpur-Hatyai-Songkhla

oleh Mahansa Sinulingga

Jam hampir menunjukkan pukul 09.00 PM, calon penumpang kereta api Senandung Langkawi sudah berbaris untuk masuk ke dalam ruang boarding Stasiun KL Sentral, Kuala Lumpur, Malaysia. Stasiun KL Sentral merupakan stasiun terpadu angkutan awam (umum) dengan berbagai tujuan dan modanya, ada LRT, KTM, KLIA Express, KLIA Transit, dan Kereta Antarbandar (kalau di Indonesia antarkota antarprovinsi).

Ketika jam sudah menunjukkan pukul 09.00 PM, para penumpang diperbolehkan masuk oleh petugas. Puluhan calon penumpang yang hendak naik kereta api yang melayani tujuan Kuala Lumpur-Padang Besar-Hat Yai Thailand itu segera bergegas menuju tempat rail.

Ketika masuk ke gerbong, tempat duduknya terkunci mati tidak bisa diputar 180 deradjat. Kursi yang berada di gerbong itu separuh menghadap ke utara/timur, separuh ke selatan/barat, alias saling berlawanan. Lebar kursinya pun terlalu sempit. Jadi kalau kita duduk pada salah satu posisi sementara kereta bergerak ke arah yang berlawanan dari posisi kita maka membuat kita bisa pusing.

Selama perjalanan yang cukup jauh menuju Hat Yai, naik Senadung Langkawi terlalu membosankan sebab setiap stasiun kereta ini berhenti. Tak seperti Bangunkarta misalnya, yang hanya berhenti di beberapa stasiun, seperti Tegal, Brebes, Pekalongan, Semarang, Madiun. Meski demikian kalau kita bandingkan stasiun-stasiun pemberhentian di Malaysia, mereka memiliki stasiun yang bagus. Bagus bisa jadi karena stasiun-stasiun itu baru. Stasiun lama dipertahankan namu stasiun baru dibuat dengan lebih modern dan future. Malaysia sedang gencar membangun stasiun baru. Bandingkan dengan Stasiun Pekalongan misalnya, sejak jaman Belanda hingga saat ini ya itu-itu saja.

Masyarakat di sana memanfaatkan kereta ini sehingga di setiap stasiun ada penumpang yang turun dan ada pula yang naik. Jadi kereta itu relatif terisi. Saat hari libur atau hari raya bisa jadi sama dengan Indonesia. Sama seperti di Indonesia, tiket para penumpang diperiksa oleh kondektur. Kondektur dibantu oleh assistennya mencatat ke mana penumpang hendak turun.

Perjalanan yang membosankan ini akan terobati bila kita bisa tidur. Rasa bosan akan hilang bila kita sudah masuk ke Stasiun Padang Besar. Stasiun itu adalah stasiun yang berada di perbatasan Malaysia dan Thailand. Bagi penumpang yang hendak melanjutkan ke negeri gajah putih harus turun lebih dahulu untuk mengurus keimigrasian. Tak terlalu lama untuk mengurus ijin keluar masuk negara. Setelah melewati keimigrasian baik Malaysia dan Thailand, penumpang keluar gedung itu tepat berada di samping rail. Entah karena pagi atau suasana di Padang Besar yang sejuk jadi berada di tempat itu merasa nyaman.

Sekitar 1 jam menunggu kereta yang hendak mengangkut ke Hat Yai. Di saat menunggu kereta, saya bercakap-cakap dengan seorang Malaysia yang hendak pergi ke Hat Yai. Dia bercerita pernah ke Indonesia pada tahun 1983 untuk belajar Pramuka. Diungkapkan dirinya pernah tidur di Kantor Kwarnas yang berada di samping Stasiun Gambir, Jakarta, itu.

Satu jam sudah menunggu, akhirnya kereta yang hendak membawa ke Hat Yai sudah berada di depan mata, para penumpang pun naik dan duduk sesuai dengan kursi masing-masing. Karena jumlah penumpang tak terlalu banyak, maka lokomotif hanya menarik dua gerbong.

Perjalanan dari Padang Besar ke Hat Yai tak terlalu lama, hanya sekitar 45 menit. Saat melintasi sepanjang jalang, suasana yang kita lihat di Thailand bagian Selatan tengah ini sama seperti di Indonesia. Terkadang terlihat perumahan kumuh dan perlintasan kereta api yang djaga oleh petugas. Ketika hendak tiba di stasiun, kondektur dengan sedikit berteriak mengatakan, “Hat Yai, Hat Yai.”

Kereta pun masuk ke dalam stasiun, sama seperti di Indonesia, para penjual jasa transportasi dan angkut barang langsung menyerbu gerbong. Mereka menawarkan jasa angkutan ke tempat-tempat wisata kepada penumpang yang dirasa asing. Begitu keluar dari gerbong, terlihat stasiun ini terbilang kumuh. Banyak pedagang kaki lima, rangkaian gerbong kereta api yang diparkir tepat di ruang tunggu. Kereta api yang ada pun terlihat sangat jelek, tua, dan gerbong-gerbongnya masih banyak yang terbuat dari kayu.

Menyusuri jalan keluar stasiun, suasana sangat pengap. Untuk bisa mencapai jalan keluar harus melintasi pintu salah satu gerbong yang terparkir di rail. Suasana tak enak dipandang kita lihat di Stasiun Hat Yai, lantai dan dinding bangunan sudah kusam dan berlumut. Mungkin wilayah Thailand selatan ini masih rawan keamanan, terlihat beberapa tentara sedang berpatroli di area ini.

Begitu keluar dari Stasiun Hat Yai kita akan berhadapan langsung dengan pertigaan jalan. Di pertigaan jalan ini sepertinya adalah sebuah pusat bisnis. Terlihat berbagai aktivitas ekonomi seperti pertokoan, di antaranya  toko emas. Di toko-toko yang ada, tepat di pojok sebelah kiri pertigaan ada semacam biro perjalanan wisata. Biasa pelancong yang ingin meneruskan perjalanan ke Phuket, Bangkok, Krabi, dan daerah lainnya di Thailand, Malaysia, bahkan Singapura bisa membeli tiket perjalanan di sini.

Sama seperti di Indonesia, di pertigaan ini ramai sekali. Terlihat orang nongkrong di pinggir jalan. Tak hanya orang yang nongkrong, tuk-tuk atau angkot juga terparkir menunggu penumpang. Masalah terjadi di Hat Yai khususnya dan Thailand pada umumnya adalah bahasa Inggris masyarakat di sana tidak bagus sehingga ketika bicara harus diulang-ulang bahkan kalau perlu ditulis dalam sebuah kertas.

Pengalaman yang demikian ketika saya melakukan tawar menawar untuk mengantar ke tempat-tempat wisata seperti Wat Hat Yai Nai, Municipal Park, dan Khlong Hae Floating Market. Saya dikerubuti 3 tukang ojek ketika tawar menawar. Karena bahasa Inggris yang tak nyambung dan bahasa Melayu mereka tak menguasai meski di Hat Yai orang Melayu sangat banyak dan bahasa itu menjadi bahasa pengantar membuat saya dengan mereka melakukan tawar menawar dengan tulisan. Akhirnya deal dari jasa angkutan ke tiga tempat itu sebesar 500 bath atau sekitar Rp250.000. Saya berani memasang harga yang demikian sebab tuk-tuk ke tempat-tempat itu tak ada kalau ada lama dan rumit ditambah dengan bahasa Inggris orang sana yang tak bagus. Jadi pastinya akan membuang-buang waktu.

Salah satu di antara tukang ojek tadi mengantar saya. Ketika saya tanya dengan bahasa tarzan soal helm, ia mengatakan tak masalah naik sepeda motor dengan satu helm. Saya pun langsung naik dibonceng di sepeda motor dan segera menyusuri jalan.

Jalan di Hat Yai tak ubahnya di Indonesia, di kanan-kiri jalan adalah tempat usaha. Bagus di Hat Yai adalah kendaraan baik roda empat atau roda dua tak banyak sehingga jalan kelihatan lengang dan tak macet meski demikian kepatuhan kepada lalu lintas mirip dengan Indonesia, banyak pengendara sepeda motor yang berhenti di luar garis yang sudah ditentukan bila sedang berada di trafic light.

Setelah menyusuri jalan selama sekitar 10 menit, akhirnya tiba di Wat Hat Yai Nai. Di wilayah yang banyak dikunjungi orang karena ada patung Budha sedang rebahan, Sleeping Budha, itu sepertinya pusat pengembangan dan pendidikan agama Budha. Selain ada patung yang mempunyai panjang 35 meter, tinggi 15 meter, dan lebar 10 meter itu, di bawah patung itu ada sebuah ruangan yang menyimpan berbagai ornamen dan patung Budha dengan segala ukuran. Di ruangan ini termasuk menjadi tempat berdoa bagi ummat Budha.

Di pojok komplek itu ada sebuah bangunan khas Thai dan di samping kanan dan belakang ada bangunan yang sepertinya buat semacam sekolah. Sekitar jarak 10 meter di depan patung Budha ada semacam toko kecil yang menjual alat sembahyang ummat Budha. Sebagai patung Budha terbesar ketiga di dunia, tak heran bila tempat ini dikunjungi oleh banyak orang.

Selepas di tempat ini, saya dengan tukang ojek menuju ke Municipal Park. Dari Wat Hat Yai Nai tempat agaknya agak jauh. Municipal Park sepertinya berada di pinggiran kota sebab ia berada di atas bukit. Bila kita sampai di tempat ini maka bisa melihat Kota Hat Yai secara utuh. Bangunan masjid terbesar di Hat Yai pun nampak dari tempat ini. Di Municipal Park sama dengan Wat Hat Yai Nai, wisata religi ummat Budha namun patung Budha di sini berdiri tegak dan menjulang tinggi.

Di sekitar patung yang berwarna emas itu nampak puluhan lonceng dan gong. Pengunjung bebas untuk membunyikan gong dan lonceng. Patung Budha di tempat ini jumlahnya bukan satu namun banyak dengan berbagai ukuran namun kiblatnya adalah patung Budha yang berdiri tegak menjulang itu. Untuk lebih menarik orang berkunjung ke sini, pengelola menyediakan cable car. Dengan menaiki cable carorang bisa melihat pemandangan alam yang indah meski adrenalin keluar karena tingginya yang luar biasa.

Puas berada di tempat, saya selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Khlong Hae Floating Market atau pasar apung. Saya melihat tempat ini seperti sebuah sungai yang dibendung. Wisata tempat ini sepertinya tak alami namun dikondisikan seperti pasar apung. Tujuannya agar menarik orang. Seperti ada pasar apung di Sentul, Bogor, Jawa Barat. Untuk menambah daya tarik maka di kanan-kiri orang yang berjualan di atas perahu itu berdiri rumah makan dan toko cinderamata. Ketika saya berjumpa dengan orang Indonesia di Hat Yai, mereka juga mengakui kekecewaan setelah mengunjungi pasar apung itu sebab tak alami.

Perjanjian saya dengan tukang ojek sudah selesai untuk mengantar ke tiga tempat tadi. Tapi saya meminta kepadanya untuk mengantar ke tempat mangkal bus atau angkutan umum yang mempunyai tujuan ke Samila Beach, Songkhla. Tukang ojek tadi karena sudah akrab pun mengantarkan saya ke pangkalan angkutan umum yang mempunyai tujuan ke Samila Beach. Ternyata pangkalan itu berada di jantung kota. Angkutan umum yang mempunyai tujuan ke Samila Beach itu adalah van, kalau di Indonesia seperti angkutan ke Bandung, Cipaganti atau Daytrans.

Saat memasuki angkutan itu sudah banyak penumpang sehingga tak perlu lama menunggu. Setelah penuh, angkutan itu pun berjalan. Sistem pembayarannya bukan ditarik satu per satu namun penumpang dengan kesadaran sendiri membayar ongkos sesuai tujuan. Jadi di sini dituntut kejujuran. Ongkos dari Kota Hat Yai ke Samila tak mahal sekitar 20 bath. Kita bisa mengatakan kepada sopir di mana kita mau turun. Dan sopir di sana cukup bagus merespon ketika saya mengatakan ‘mermaid.’ Mermaid berarti ikan duyung. Patung mermaid  merupakan ikon pantai itu. Setelah diantar hingga di pinggir pantai saya mengucapkan terima kasih kepada sopir.

Memasuki pantai itu ramai sekali orang berwisata, saya pun mencari mermaid yang menjadi ikon. Dan memang betul bahwa untuk foto bersama mermaid harus ‘antri.’ Semua yang berkunjung ke tempat itu pasti ingin mengabadikan diri dengan mermaid. Secara keseluruhan Samila Beach layak dikunjungi. Pasirnya putih dan tempatnya relatif bersih.

http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2014/01/11/senandung-langkawi-623961.html

Penulis

ardi winangun

Twitter: @winangunardi