Begitu keluar dari daerah Hat Yai dan memasuki daerah Pattani, terlihat pos penjagaan militer berada di tengah dan pinggir jalan. Pos jaga itu disusun dengan tumpukan pasir setinggi dada manusia dewasa dilengkapi senjata laras panjang. Tak hanya itu penjagaan yang dilakukan militer Thailand, sebelum dan setelah melintasi pos, terpasang pagar yang dipasang selang-seling pada kedua jalur sehingga bila kendaraan melintas pastinya ia harus zig-zag. Kondisi yang demikian dibuat agar kendaraan itu berjalan pelan untuk pemeriksaan.
Pada hari minggu, pekan kedua bulan Januari 2014, lintasan jalan dari Hat Yai ke Pattani nampak sepi sehingga van yang mengangkut penumpang dari terminal Hat Yai berjalan sangat cepat. Di sepanjang jalan ke Pattani suasana Melayu terlihat di sini, perkampungan dengan masji biasa kita lihat.
Pattani merupakan salah satu provinsi yang berada di Thailand bagian selatan. Provinsi di bagian selatan negeri gajah putih selain Pattani adalah Narathiwat, Yala, Songkhla, dan Hat Yai. Menarik dari provinsi-provinsi yang berada di bagian selatan, terutama Pattani dan Narathiwat, ummat Muslim etnis Melayu dominan. Bila kita ke Hat Yai, ummat Muslim pun nampak dalam berbagai aktivitas di provinsi yang banyak pusat pengembangan agama Budha ini. Di pasar, terminal, dan pusat bisnis lainnya, biasa kita menemukan perempuan menggunakan jilbab. Bahkan di Samila Beach, Songkhla, mudah kita temukan perempuan berjilbab bersama dengan keluarga dan rekan-rekan Muslim lainnya.
Jarak Hat Yai ke Pattani ditempuh dalam waktu satu jam. Van yang mengangkut penumpang ini bertarif 190 bath. Menjelang masuk kota Pattani, di sebuah perempatan besar, terlihat sebuah baliho raksasa bergambar Perdana Menteri Yingluck Sinawatra yang akan membuka sebuah konferensi organisasi Islam. Karena van berjalan sangat cepat, jadi konferensi Islam apa pastinya tidak terbaca dengan jelas. Namun dari baliho itu menunjukkan perhatian pemerintah pusat kepada ummat Muslim di Pattani.
Memasuki Pattani, suasana mencekam terasa. Terlihat dua mobil yang lebih kecil dari panser sedang berpatroli. Mereka tak sekedar patroli namun salah seorang dari tentara yang berada di mobil itu memegang pemicu senjata laras panjang yang siap tembak bila ada kelompok-kelompok yang dirasa mengganggu keamanan. Pos tentara dan barikadenya pun banyak terlihat di jalan masuk menuju ke Kota Pattani.
Ketika memasuki Kota Pattani, jelas sekali nuansa Melayunya. Selain tulisan asli bangsa Thai, juga ada tulisan melayu dan arab. Di sini mencoba menggabungkan beragam unsur bangsa, etnis, dan agama.
Wilayah Thailand bagian selatan saat ini masih dilanda konflik dengan pemerintah pusat yang berada di Bangkok. Hal demikian karena tak bisa dilepaskan dari masa lalunya. Wilayah Thailand bagian selatan dahulu adalah wilayah Kesultanan Melayu Islam yang ditundukkan oleh Kerajaan Siam. Seiring perjalanan waktu, wilayah kesultanan ini secara resmi masuk ke dalam wilayah negara Thailand. Menjadi masalah ketika dalam pembangunan, ummat Muslim di Thailand selatan mendapat diskriminasi dalam keadilan. Pemerintah Thailand disebut lebih memprioritaskan etnis Thai, etnis Indochina, yang beragama Budha.
Di manapun bila sekelompok masyarakat mendapat perlakuan yang tak adil, ditunjang dengan sejarah dan agama, maka akan melakukan perjuangan untuk menuntut keadilan. Hal inilah yang mungkin masih dilakukan oleh masyarakat Thailand bagian selatan.
Saat berada di Pattani, penulis mengunjungi Masjid Sentral Pattani. Pada hari itu, di samping masjid terbesar di Pattani itu ada kegiatan semacam tabligh akbar dengan tema besar Pekan Pattani Masyarakat Madani.
Kegiatan itu tak hanya diisi oleh ceramah agama, namun juga ada talkshow, pameran foto tentang suasana Pattani saat konflik terbuka dengan militer, basar yang menjual berbagai macam kebutuhan seperti buku-buku tentang sejarah Melayu Pattani, kaos yang bertuliskan pesan perdamaian, dan makanan. Penulis ketika tiba di tempat itu disambut dengan baik oleh staff panitia kegiatan. Amin nama staff itu dengan ramah menerima bahkan ia memberi kupon makan siang.
Sambil menunggu makan siang, meski akhirnya kupon makan itu tak saya gunakan, penulis melihat basar-basar yang ada. Salah satu basar yang ada itu menampilkan gambaran perdana menteri Thailand dari masa ke masa. Poster yang ada ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Thailand. Jadi tidak tahu maksudnya, mungkin saja berupa catatan hitam para perdana menteri itu kepada masyarakat Pattani. Tak hanya itu menampilkan sosok perdana menteri namun juga menampilkan panglima tentara Thailand. Ketika saya menanyakan soal Jenderal Sonthi Boonyaratkalin, ia menjawab bahwa Sonthi dibesarkan di Bangkok meski kakek dan neneknya dari Thailand bagian selatan. Sonthi adalah Panglima Tentara Angkatan Darat yang beragama Muslim. Dirinyalah yang melakukan kudeta tak berdarah kepada Perdana Menteri Thaksin Sinawatra.
Suasana ramai tak hanya di stand-stand basar namun di panggung tabligh akbar. Di depan panggung dipenuhi kursi para undangan. Di sela-sela talkshowyang menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Thailand itu ada yang membacakan puisi dalam bahasa Melayu yang salah satu syairnya mengumandangkan kejayaan bulan bintang.
Ketika penulis meninggalkan acara tabligh akbar, terlihat dua mobil patroli tentara melintasi tempat acara. Meski sekadar melintasi namun seolah-olah menunjukkan bahwa kegiatan tabligh akbar diawasi aparat bersenjata.
Penulis melanjutkan perjalanan ke Masjid Krue Se. Untuk menuju ke tempat itu, harus naik tuk-tuk (angkot Thailand) atau bus jurusan Sungai Kolok. Namun penulis memilih naik tuk-tuk. Untuk menunju ke masjid yang dibangun pada masa Kesultanan Pattani, 1583, harus bersabar karena tuk-tuk harus menunggu penuh. Satu jam lebih untuk menunggu angkutan itu penuh. Perjalanan ke masjid yang berasitektur campuran Eropa dan Timur Tengah itu tak lama, sekitar 15 menit. Ongkosnya sekitar 15 bath.
Sesampai di sana suasana masjid masih nampak sepi namun tak lama kemudian terdengar suara adzan dzuhur. Waktu sholat tengah hari itu digunakan penulis untuk sekalian sholat dzuhur. Dua baris saaf sholat wajib itu. Selepas sholat, penulis memperkenalkan diri kepada imam sholat bahwa datang dari Indonesia. Ia senang ketika mendengar Indonesia. Menurutnya dirinya masih ada saudara di Aceh.
Penulis menanyakan ketika terjadi penyerbuan di masjid itu, ia mengatakan bahwa para kelompok bersenjata itu bukan orang di sekitar masjid namun orang-orang yang Thailand bagian selatan. Diakui ada senjata yang dibawa oleh kelompok itu.
Disebutkan pada April 2004, militer melakukan penyerbuan setelah melakukan pengepungan selama tujuh jam di Masjid Krue Se. Akibat penyerbuan itu mengakibatkan 32 orang meninggal dunia. Militer menuduh bahwa kelompok itu adalah gerilyawan Muslim Thailand Selatan. Penyerbuan inilah yang membuat masalah Thailand selatan menjadi pusat perhatian dunia. Konflik dari masa penundukkan Kerajaan Siam kepada Kesultanan Melayu Islam hingga penyerbuan Masjid Krue Se menyebabkan daerah itu masih terasa panas hingga saat ini.
Selepas berziarah ke masjid itu, penulis melanjutkan perjalanan ke Kelantan, Malaysia. Untuk menuju ke sana, dengan naik bus, harus melewati Narathiwat. Perjalanan sepanjang Narathiwat hingga daerah perbatasan Malaysia-Thailand, masih terlihat pos-pos penjagaan militer di jalan. Pos jaga itu bukan sekadar memeriksa kendaraan namun siap melakukan penyerangan bila diperlukan.
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2014/02/03/menyusuri-provinsi-pattani–629108.html