Jepang punya lebih dari 30 ribu kedai ramen, tetapi yang mendapat penghargaan Michelin Star bisa dihitung dengan jari. Tsuta adalah salah satunya.
Tsuta yang menyajikan ramen dan soba ini digelari bintang satu Michelin sejak 2015. Ini menjadikannya ramen pertama di dunia yang mendapat pengakuan Michelin Star. Pencapaian rasa ramen ini diraih berkat ketekunan koki dan pemilik kedai ini, Yuki Onishi. Tentu, selagi di Tokyo atau kelak suatu kali ke sana, kedai ini layak masuk ke bucket list.
Tsuta hanya menjual 150 mangkuk ramen setiap harinya. Kedai ini buka pukul 11 siang sampai 5 sore. Namun, apabila ingin makan di sana, kita mesti memiliki “tiket” dulu, yang didapat dengan mengantre pada pagi harinya. Antrean dibuka pukul 8 pagi, tetapi kadang kala orang sudah mengantre sejak pukul 6 pagi.
Ketika mengambil antrean, kita sekaligus memilih jadwal, pada rentang pukul berapa kita akan makan di kedai, misalnya antara pukul 11–12 siang, 12–13 siang, dan seterusnya. Warna “tiket” akan berbeda-beda, tergantung jadwal bersantap yang kita pilih. Setelah mendapat tiket, kita bisa kembali lagi sesuai jadwal untuk menikmati ramen yang tersohor ini.
“Truffle” yang istimewa
Tsuta terletak di bagian utara Tokyo. Jika naik kereta, kita bisa turun di Stasiun Sugamo dan berjalan kira-kira 3 menit dari dari sana. Dengan panduan peta digital, mudah sekali menemukan kedai ini. Logo Tsuta terpampang di bagian muka kedai berpintu kayu cokelat muda.
Kedai ini kecil saja. Lebarnya mungkin hanya 2,5 meter, dengan panjang sekitar 5 meter. Kedai Tsuta hanya mampu menampung sekitar 10 orang untuk makan di dalamnya. Ukuran kedai yang kecil dan desain yang sederhana justru membuat pengalaman bersantap di sini terasa hangat. Apalagi, kita bisa melihat koki Yuki Onishi memasak di depan kita.
Tsuta memiliki beberapa menu ramen dan soba. Yang paling terkenal adalah shoyu soba. Jika ini pertama kalinya kamu ke Tsuta, atau bisa jadi bahkan kunjungan pertama dan terakhir, pesanlah ramen shoyu.
Ramen shoyu dari Kedai Tsuta menggunakan saus kedelai tua dari Wakayama, dicampur lagi dengan saus khusus resep Yuki Onishi. Saus ini lalu ditambahkan pada kaldu yang terbuat dari daging ayam dan kerang. Ramen ini kemudian dilengkapi dengan charsiu babi dan dituntaskan dengan saus jamur truffle hitam.
Tidak bisa tidak, pujian dari suapan kuah pertama harus diberikan untuk saus jamur truffle hitam yang memberikan rasa umami yang dalam dan aroma khas pada sajian ini. Cita rasa truffle hitam ternyata berpadu begitu asyik dan seimbang dengan dashi atau kaldu sup ramen ini. Charsiu yang empuk dan menambah kenikmatan ramen ini.
Ah, tentu saja mi ramennya sendiri spesial. Mi yang kita santap dibuat langsung pada pagi harinya. Mi ini menggunakan empat varian tepung lokal yang dicampur dengan telur dan garam alami dari pedalaman Mongolia. Sekali mencicipi perpaduan mi, kaldu, dan charsiu di dalam mangkuk ramen shoyu ini, lidah terus menagih suapan-suapan berikutnya.
Yuki Onishi mengangguk-angguk hormat ketika beberapa tamu memuji rasa ramennya. Yuki bercerita, dari ayahnyalah yang punya kedai ramen dia mulai mencintai makanan ini. Pernah ia bekerja di luar Jepang, tetapi lantas mendapati bahwa ia kurang cocok dengan budaya makannya. Berada jauh dari Jepang, ia justru kian merasakan bahwa ramen adalah panggilannya. Ia lantas belajar lebih jauh soal ramen dan bertekun di dapur.
Setelah cukup percaya diri, Yuki membuka Kedai Tsuta pada Januari 2012. Pencariannya tentang cita rasa ramen membuatnya mencoba mereka-reka berbagai resep untuk meningkatkan cita rasa ramen. Pada 2014, ia memadukan truffle hitam dengan saus shoyu. Dari sinilah ramennya mulai makin dikenal hingga mendapatkan pengakuan Michelin Star pada 2015.
Bersantap di Kedai Tsuta sungguh pengalaman yang berharga. Dalam semangkuk ramen, terekam jejak ketekunan dan kejeniusan pencarian rasa. Kalau ada waktu atau jika pandemi Covid-19 sudah mereda dan kamu berjalan-jalan ke Jepang, mampirlah ke Kedai Tsuta. Apalagi, tidak setiap kali kita bisa punya kesempatan menjajal restoran berbintang Michelin, kan!