Ada banyak desa adat di Flores, dan Waerebo adalah salah satu yang paling ikonik. Ketika melihat tujuh rumah kerucut yang dikelilingi pegunungan, kita langsung tahu, inilah Waerebo yang senantiasa menjadi magnet bagi wisatawan.
Kampung Waerebo kini memang menjadi salah satu destinasi penting di Flores, Nusa Tenggara Timur. Terletak pada ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, tujuh rumah kerucut itu berdiri kokoh di atas hamparan tanah lapang. Ketika kabut turun melingkupi sekitar, desa ini tampak seperti negeri di atas awan.
Kekhasan tradisi, arsitektur, cara hidup, budaya kopi, dan tentu saja keelokan alam Waerebo memikat orang untuk terus bertandang. Hal ini jugalah yang membuat Waerebo dianugerahi Award of Excellence pada Unesco Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation pada 2012. Ini adalah penghargaan tertinggi dalam bidang konservasi warisan budaya.
Trekking dulu
Waerebo terletak di dataran tinggi Manggarai. Untuk menuju ke Waerebo, kita mesti singgah di Denge, desa terakhir sebelum akan mulai trekking ke Waerebo. Dari Labuan Bajo, Denge bisa ditempuh lewat Ruteng atau jalur Lembor. Keduanya memakan waktu 5–7 jam perjalanan dengan kendaraan bermotor.
Dari Denge, kita harus bertolak lagi ke pos pertama pendakian, Wae Lomba, yang bisa dicapai dengan naik ojek atau berjalan kaki. Dari sini, karena akan trekking cukup jauh, sebaiknya kita menyewa pemandu untuk menemani perjalanan dari pos pertama sampai ke Waerebo.
Dari pos pertama itu, kita akan berjalan menembus rimbunnya hutan. Udara segar terasa mengisi paru-paru. Kira-kira satu jam kemudian, kita sampai di pos 2. Dari sini, pemandangan ngarai terhampar. Jika cuaca baik, kita bisa melihat Desa Denge di kejauhan. Menyadari jaraknya yang jauh, mungkin kita sedikit takjub, betapa kaki telah jauh melangkah.
Setelah beristirahat dan menikmati pemandangan, kita akan berjalan kaki lagi. Sesekali kicau burung meriah terdengar. Ketika sudah melewati perkebunan kopi, dan kita mendapati jalanan mulai datar dan menurun, berarti Kampung Waerebo sudah tak jauh lagi.
Sebelum sampai di Waerebo, kita mesti memberi kode bahwa akan ada tamu bertandang. Pemandu perjalanan akan membunyikan kentungan di Rumah Kasih Ibu atau pos 3, tanda warga Waerebo mesti menyiapkan upacara penyambutan tamu. Setelah bunyi kentungan berbalas dari Desa Waerebo di bawah, barulah kita bisa melanjutkan perjalanan.
Menyambut tamu dengan upacara memang menjadi tradisi dan kewajiban bagi masyarakat Waerebo. Para tamu dan warga yang ditugaskan menyambut akan berkumpul di Niang Gendang, rumah paling besar yang terletak tengah-tengah rumah adat yang lain. Tamu akan disuguhi kopi Waerebo dan mengikuti Wae Lu’u, upacara penyambutan sederhana.
Orang Waerebo akan berbicara dengan bahasa Manggarai dan menerjemahkannya. Kira-kira, ini yang mereka katakan tentang penyambutan, “Untuk sementara, ketika kita di Waerebo, Bapak dan Ibu ini menjadi benar-benar warga Waerebo, bisa dikatakan putra putri Waerebo. Ketika berdoa tadi, kami meminta leluhur melindungi kalian semua di sini.”
Mbaru Niang
Karena kekhasan arsitekturnya, rumah adat Waerebo yang disebut mbaru niang akhirnya menjadi ikon kampung ini. Mbaru berarti rumah dan niang berarti tinggi dan bulat. Seperti bentuknya yang mengerucut tinggi ke atas.
Bentuk rumah ini, menurut warga lokal, adalah lambang perlindungan dan persatuan antarwarga Waerebo. Lantainya yang berbentuk melingkar adalah simbol keharmonisan dan keadilan antarwarga. Jumlah tujuh bangunan itu konon mencerminkan penghormatan kepada “para pelindung”, yang disimbolkan tujuh arah puncak-puncak gunung di sekeliling Waerebo.
Nenek moyang masyarakat Waerebo yang bernama Empo Maro alkisah berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Konon ia bersama dengan sejumlah kerabatnya mengarungi lautan sampai di Labuan Bajo. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke arah utara dan hidup berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung lain hingga akhirnya menetap di daerah yang sekarang bernama Waerebo ini. Jejak budaya Minang tampak pada adanya tanduk kerbau di pucuk mbaru niang.
Apabila kamu berkunjung ke Flores, sempatkanlah bertandang ke Waerebo. Sungguh, keelokannya sayang dilewatkan.
Waerebo adalah destinasi sepanjang tahun. Kecuali intensitas hujan sedang sangat tinggi, pendakian sebenarnya tidak terlalu sulit. Untuk amannya, hindari bulan Desember–Februari, ketika curah hujan mencapai puncaknya.
Walaupun pada umumnya Waerebo tidak pernah terlalu ramai kunjungan, puncak kunjungan terjadi pada Juli–Agustus, mengikuti arus wisatawan di Labuan Bajo. Apabila memungkinkan, pilih waktu di luar periode tersebut.