Home Mau ke Mana?DestinasiMancanegara Mengunjungi Palais Garnier dengan Angkutan Umum

Mengunjungi Palais Garnier dengan Angkutan Umum

oleh Tyas Ing Kalbu

FOTO-FOTO CM KOMPAS/TYAS ING KALBU

Pukul 6 petang waktu setempat pada awal Agustus lalu, langit kota Paris, Perancis, masih menyala. Di musim panas, matahari terasa bersinar lebih lama di wilayah ini. Baru sekitar pukul 8 malam suasana kota mulai meredup dan digantikan kerlip-kerlip cahaya artifisial. Bila malam telah matang, kota ini menjadi begitu terang.

Di salah satu sudut Rue (jalan) Scribe, koran ini bertemu dengan keluarga Mega (40) yang baru saja turun dari bus kota. Ia bersama suami dan anak-anaknya datang dari Bantul, Yogyakarta, untuk berlibur. Namun, ia mengaku tak ingin datang jauh-jauh ke Paris hanya untuk berbelanja.

“Saya tak mau silap mata dengan menghamburkan uang untuk berbelanja. Mumpung ada kesempatan kemari dengan anak-anak, saya ingin mengajak mereka mencicipi atmosfer sejarah dan cita rasa seni masyarakat Eropa. Apalagi anak-anak tidak harus membayar untuk masuk ke beberapa museum di Paris. Jadi, saya berusaha merancang agar liburan singkat ini berkualitas, tetapi juga hemat,” ujar Mega, Jumat (5/8/2022).

Mereka sebenarnya ingin masuk ke gedung opera bersejarah yang menjadi salah satu ikon kebesaran Perancis, Palais Garnier. Namun, niat tersebut harus tertunda karena sore itu waktu operasional museum telah berakhir.

Gedung opera

Palais Garnier terletak tak jauh dari pusat perbelanjaan kelas dunia Galeries Lafayette di Boulevard Haussmann. Pada masa lalu, gedung opera ini menjadi arena berkumpul kaum ningrat Perancis.

Gedung yang dibangun pada 1861 hingga 1875 ini memiliki banyak ruangan dengan peruntukan khusus. Selain aula utama—yang bentuknya mirip tapal kuda—untuk menyaksikan pertunjukan opera, terdapat auditorium yang dulunya digunakan para bangsawan dan orang-orang kaya bersosialisasi. Ada pula perpustakaan dengan koleksi naskah tua, ditambah beberapa studio latihan dan lokakarya.

Leon, warga Paris yang menjadi pemandu wisata untuk menemani beberapa pengunjung dari Indonesia, mengatakan, sebelum pandemi, turis yang datang ke tempat ini saban tahun bisa mencapai 500.000 orang. “Selain Eiffel, gedung ini adalah simbol Paris yang paling banyak dikunjungi. Pada 1923, gedung ini dicatat sebagai monumen bersejarah.”

Palais Garnier, sebut sejumlah literatur, pada awalnya dikenal sebagai Salle des Capucines karena lokasinya berada di Boulevard des Capucines. Nama Garnier dipakai sebagai pengakuan atas mahakarya sang arsitek. Garnier merancang agar gedung megah ini bisa menampung sekitar 2.000 penonton.

Langgam eksterior dan interior Palais Garnier ibarat unjuk kemewahan yang luar biasa. Lantai dan dinding marmer hampir terhampar di semua ruangan. Pada pilar-pilar yang masif dan langit-langit yang cukup tinggi, selalu terdapat pahatan yang amat detail dan rumit. Belum lagi dekorasi (termasuk lukisan) dengan komposisi warna yang kaya, secara gamblang disajikan di depan mata pengunjung.

Sejumlah ahli rancang bangun, kata Leon, berpendapat bahwa gaya arsitektur Beaux-Arts cukup menonjol di gedung ini. Hal itu bisa dilihat dari perencanaan pembangunannya yang menerapkan sumbu simetris.

“Jadi, kira-kira bila gambar denah gedung ini dilipat menjadi dua bagian, akan kita dapatkan sisi-sisi yang sama,” katanya.

Untuk menyesap keindahan Palais Garnier, setiap turis wajib membeli tiket. Turis berusia 12–25 tahun harga tiketnya 8 euro, sedangkan yang berusia di atas 25 tahun dikenai 12 euro. Adapun anak di bawah 12 tahun serta pengunjung berkebutuhan khusus bersama pendampingnya, gratis.

Angkutan umum

Meraba aura Kota Cahaya ini memang tak murah. Kalau digabung, ongkos tiket pesawat, mengurus visa Schengen, menyewa akomodasi, makan, hingga karcis masuk tempat wisata untuk satu orang dewasa bisa lebih dari Rp 20 juta. Ini untuk kunjungan selama 3–4 hari.

“Komponen terbesarnya tentu pada tiket pesawat, ya. Saat ini, tiket pesawat ke mana pun sedang mahal-mahalnya,” aku Mega.

Oleh sebab itu, saran Mega, kalau mau lebih hemat, sebaiknya pergi ke Paris di luar musim panas atau akhir tahun. Sebelum pandemi saja, tiket pesawat Jakarta–Perancis periode Juni–Juli atau Desember sudah cukup mahal. Belum lagi, sewa penginapan yang harganya selangit.

Kalau mau lebih murah, datanglah pada Maret–Mei atau Agustus–Oktober. Hotel atau hostel yang terjangkau bisa ditemukan di pinggiran kota. Untuk makan, datang saja ke kedai-kedai yang ada di jalan-jalan kecil atau gang.

“Jalan-jalan selama di Paris naik saja angkutan umum, seperti bus atau Metro (MRT). Naik bus umum itu ongkosnya hanya sekitar 2 euro sudah bisa berkeliling Paris, tempat-tempat mainstream yang biasa dikunjungi. Naik (bus) yang nomor 29 misalnya, berangkat dari Saint-Lazare (stasiun) lewat Palais Garnier, Le Marais, Place des Vosges, dan Bastille,” jelasnya.

Meski pandemi sudah lebih terkendali, sebaiknya wisatawan tetap menjaga diri. Selalu mengenakan masker dan kerap mencuci tangan amat disarankan. Yang juga harus diingat, tetaplah waspada selama menikmati kota sejarah dan seni ini. Sebab, isu keamanan tengah menjadi perhatian serius di sana dan beberapa negara lain di Eropa. [TYS]

Artikel yang mungkin kamu suka