Bagi kamu yang suka bertualang dan mengenal kearifan lokal, mengunjungi desa nelayan Lamalera bisa jadi pengalaman yang amat mengesankan. Inilah desa yang dikenal dengan masyarakatnya yang masih kerap memburu hewan laut besar, termasuk juga paus.
Lamalera terletak di pantai selatan Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur. Pantai Lamalera langsung menghadap ke Laut Sawu. Kondisi Lamalera kering dan berbatu-batu. Ada candaan di kalangan orang Lamalera, daratan mereka bukanlah tanah berbatu, melainkan batu bertanah. Pantainya pun terjal, dengan tebing-tebing karang. Sisa kecil pantai yang berpasir sangat sempit; inilah yang dimanfaatkan warga untuk pusat landasan kapal.
Mencari ikan sebagai nelayan tradisional menjadi pekerjaan warga untuk bertahan hidup. Masyarakat Lamalera memang mengkhususkan diri pada keahlian memburu dan menangkap ikan laut jenis besar, seperti pari, lumba-lumba, juga paus. Oleh karena itu, di dunia, masyarakat ini dikenal sebagai nelayan tradisional penangkap paus.
Menyesuaikan musim
Masa melaut bagi nelayan Lamalera selalu menyesuaikan musim. Sesuai kondisi musim itu, masa melaut dapat digolongkan menjadi masa resmi turun ke laut (Mei–September) dan masa selingan (Oktober–April).
Dalam rentang Mei–September, biasanya memang banyak paus yang melintasi Laut Sawu, juga ikan-ikan kecil lainnya. Masa melaut ini diawali dengan upacara secara adat dan keagamaan. Pada Oktober–April, kondisi laut memang kurang memungkinkan bagi para nelayan untuk melaut. Cuaca panas, juga arah angin dan arus kurang menguntungkan.
Dalam melaut, para nelayan menggunakan perahu tradisional yang disebut peledang. Nelayan yang berkelompok ini memiliki pembagian tugas yang spesifik. Yang memegang peranan paling penting adalah lamafa, dialah sang penikam yang selalu bersiaga di ujung depan perahu sambil membawa tempuling untuk menikam paus atau ikan besar lain. Ketika akan menikam, ia melemparkan tempuling sambil melompat dari paledang.
Stevanus Tofu Bataona, salah seorang lamafa mengatakan, ketika melaut, hati lamafa harus bersih. Hubungan dengan istri dan kerabat harus baik. Begitu pun ketika membagi-bagi jatah ikan, tidak boleh ada niat mengambil keuntungan sendiri.
“Ada satu mitos lagi, yang ternyata memang terbukti. Jika ingin melaut, seorang lamafa tidak boleh pamit dengan istri atau keluarga. Apabila pamit, bisa jadi ia tidak kembali lagi atau mendapat celaka dalam perjalanannya,” kata Stevanus.
Dalam melaut, yang paling diincar memang paus karena dagingnya bisa dibagi-bagikan kepada seluruh masyarakat dan bisa dikeringkan untuk menjadi cadangan makanan dalam jangka waktu cukup lama. Belum lagi, masyarakat bisa menyarikan minyak paus untuk kebutuhan sendiri maupun dijual. Jika dijual, harganya lumayan.
Kadang-kadang, ketika para nelayan tidak sedang melaut, dari kejauhan tampak pula di mata mereka paus-paus yang sedang melintas. Ketika paus terlihat muncul di permukaan laut, warga akan berteriak bersahut-sahutan “Baleo baleo!”. Ini adalah saatnya turun ke laut.
Barangkali sempat tebersit di benak, mengapa paus dan ikan-kan besar lain ditangkapi. Namun, para nelayan ini tak sembarang menangkap. Ada banyak ketentuan adat yang mengatur hal ini.
Untuk menangkap paus misalnya, ada banyak pantangan yang diberlakukan. Adat Lamalera tidak membolehkan paus dengan kriteria tertentu ditangkap, misalnya betina yang sedang mengalami puber, betina yang baru melahirkan, dan pasangan paus yang sedang kasmaran. Untuk itu, sebagai orang yang bertugas menikam dan memilih paus mana yang akan ditikam, seorang lamafa sudah harus sangat terlatih.
Dengan aturan ketat tersebut, secara tidak langsung prinsip-prinsip konservasi untuk menjaga keberlangsungan kehidupan paus telah diimplementasikan. Pada 2018, ujar Stevanus, hanya ada 10 ekor paus yang ditangkap sepanjang 1 tahun dari ratusan yang melintas Laut Sawu.
Menuju Lamalera
Lewoleba, Ibu Kota Kabupaten Lembata, adalah titik awal untuk melanjutkan perjalanan ke Lamalera. Kota ini memiliki pelabuhan dan bandara. Oleh karena itu, Lewoleba pun bisa dicapai dengan jalur udara (biasanya transit di Kupang) atau laut (umumnya dari Larantuka atau Kupang).
Dari Lewoleba, kita bisa memilih perjalanan darat atau laut untuk sampai ke Lamalera, yang berarti kita mesti menyewa mobil atau perahu motor. Opsi lain, ada bus yang beroperasi dari Terminal Barat Lewoleba untuk menuju Lamalera. Hanya saja, pilihan waktunya memang lebih terbatas, bus ini beroperasi hanya satu atau dua kali sehari, pada pagi menjelang siang.
Desa Lamalera memang belum memiliki kelompok khusus yang mengelola kegiatan wisata. Namun, ada homestay atau pondok wisata yang dikelola warga di sini, misalnya Felmina Homestay. Beberapa rumah penduduk juga bisa dijadikan tempat bermalam.
Oh iya, yang masih cukup sulit di Lamalera memang akses komunikasi. Sinyal internet nyaris tidak ada. Untuk komunikasi jarak jauh, yang memungkinkan hanya telepon atau SMS, itu pun kalau sedang beruntung ponsel bisa menangkap sinyal. Meski begitu, Lamalera sangat layak dikunjungi. Sambangilah tempat ini dan cecaplah pengalaman budaya yang begitu kaya.