Home Mau Ngapain?Wisata Sejarah dan Budaya Mengunjungi Bena, Kampung dengan Tradisi Megalitikum di Flores

Mengunjungi Bena, Kampung dengan Tradisi Megalitikum di Flores

oleh Fellycia Novka Kuaranita

Bena, kampung adat di Ngada, Nusa Tenggara Timur, punya kekhasan karena masih meneruskan tradisi megalitikum yang ditinggalkan leluhurnya. Hal ini pulalah yang menjadi daya tarik kampung yang sekarang menjadi destinasi wisata andalan di Flores ini.

Tidak banyak tempat yang masih merawat tradisi yang diteruskan sejak zaman megalitikum. Namun, pada kampung-kampung adat di Ngada, kita masih dapat menemukannya. Masyarakat tinggal di kompleks rumah adat–dengan batu-batu besar di area publiknya–sekaligus memelihara ritual-ritual adat penting.

Kabupaten Ngada terletak di bagian tengah Pulau Flores. Di sini, sejumlah struktur megalitikum dapat dilihat di kampung-kampung tradisionalnya. Rumah-rumah adatnya yang khas, terlebih tradisi yang masih terus dilakoni, menjadi daya tarik utama kampung ini.

Ada beberapa kampung adat di Ngada, antara lain Bena, Tololela, Jerebu, Bela, Wogo, dan Gurusina, tetapi yang paling sering dikunjungi sekaligus menjadi pintu masuknya adalah Kampung Bena.

Perkampungan kuno

Memasuki Kampung Bena, waktu seakan-akan mundur ke era beberapa ratus tahun lampau. Rumah dengan rasa arsitektur kuno tertata mengitari altar-altar persembahan yang disusun dari formasi batu-batu besar–situs megalitikum itu. Kampung ini konon sudah ada sejak 800 Masehi, yang berarti usianya kini sudah lebih dari 1.200 tahun.

Dilihat dari atas, bentuk perkampungan Bena dengan panjang 375 meter dan lebar 80 meter ini berundak-undak dan menyerupai perahu. Ini adalah salah satu simbol budaya. Perahu melambangkan semangat gotong-royong dan kerja keras. Masyarakat Bena juga percaya, perahu adalah sarana yang dapat membawa arwah ke tempat peristirahatan terakhir.

Kampung Bena dikitari pepohonan, dengan Gunung Inerie di sisi baratnya. Cantik sekali. Terletak di ketinggian 2.245 meter di atas permukaan laut, suhu di tempat ini sangat sejuk. Pada sore hari, kabut turun di Bena dan kampung-kampung sekitarnya.

Letak geografis ini memengaruhi mata pencaharian masyarakat Bena, yang sebagian besar berkebun atau berladang. Para perempuannya menenun untuk kebutuhan pakaian keluarga maupun untuk dijual. Di teras-teras rumah, kita bisa menjumpai hasil kebun yang dijemur, misalnya kemiri. Tempat yang sama juga digunakan untuk menenun.

Kekhasan arsitektural

Rumah bukan sekadar bangunan tempat bernaung bagi orang Bena. Jumlah dan bentuk rumah menyiratkan kekerabatan dan hubungan sosial dalam masyarakat ini.

Eman Sebo, pengurus situs megalitikum di Ngada mengatakan, di kampung yang menganut kekerabatan matrilineal ini, ada sekitar 300 penduduk yang terdiri atas 9 suku. Kesembilan suku ini mendiami 45 rumah di Kampung Bena, perbedaan undak tempat rumah berdiri menandakan perbedaan suku.

Setiap suku atau klen punya rumah keluarga inti yang disebut sao meze. Rumah inti nenek moyang perempuan disebut sa’o saka pu’u, dicirikan dengan simbol tusuk rambut di atas atap rumah. Sementara itu, rumah inti leluhur laki-laki disebut sa’o saka lobo, terdapat patung pria dengan tangan memegang parang dan tombak di bagian atapnya. Atapnya terbuat dari alang-alang, sementara lantai rumah terbuat dari kayu atau batu.

Di tengah jajaran rumah tersebut terdapat pelataran yang luas yang menjadi area makam leluhur di dalam rumah adat berbentuk kerucut. Di rumah ini disimpan sesajian bagi nenek moyang.

Peninggalan peradaban megalitikum juga dapat dilihat di pelataran tengah ini. Ada ngadhu (representasi leluhur laki-laki yang bentuknya menyerupai batu runcing yang menjulang) dan bagha (representasi leluhur perempuan yang bentuknya menyerupai miniatur rumah). Ritual-ritual adat biasanya dilakukan di sini.

Berkunjung ke Bena

Kampung Bena berjarak sekitar 19 kilometer dari pusat kota Bajawa, Ibu Kota Kabupaten Ngada. Jika kita bertolak dari Ende atau Labuan Bajo, pilihan termudah adalah menyewa kendaraan untuk mencapai Kampung Bena.

Selain bertandang dalam kunjungan singkat, wisatawan juga bisa bermalam di Bena untuk merasakan pengalaman kultural yang lebih kaya. Beberapa rumah penduduk dijadikan pondok wisata (homestay) bagi wisatawan yang ingin menginap.

Baik di area publik kampung ini maupun di rumah warga yang menjadi tempat bermalam pengunjung, tersedia fasilitas-fasilitas dasar, seperti toilet dan alas tidur yang layak bagi pengunjung. Karena suhu yang rendah pada malam hari, mungkin kamu membutuhkan baju hangat tambahan, yang bisa disiapkan sebelum berangkat ke Kampung Bena.

Artikel yang mungkin kamu suka