Dalam beberapa tahun terakhir, Waerebo tengah naik daun. Banyak orang berbondong-bondong ke kampung yang terletak di Pulau Flores itu. Padahal, untuk tiba di ‘sana perlu waktu yang lama. Pada libur lebaran tahun ini, saya dan keluarga saya termasuk yang rela menempuh perjalanan jauh demi mengunjungi ‘Desa di Atas Awan’ tersebut. Kunjungan ini termasuk dalam trip keliling Sumba-Flores yang kami lakukan.
Kota terakhir yang kami singgahi sebelum tiba di Waerebo adalah Ruteng. Dari Ruteng ke Denge yang merupakan titik awal pendakian membutuhkan waktu sekitar 4 jam. Setibanya di Denge, kami singgah terlebih dulu di salah satu rumah yang dijadikan homestay juga. Di sana, kami makan siang dan bertemu dengan Pak Blasius Monta, warga asli desa Waerebo yang bercerita tentang Waerebo. Salah satu fakta mengejutkan yang saya sendiri baru tahu adalah ternyata, nenek moyang penduduk Waerebo adalah orang Minang! Jauh banget ya padahal antara Sumatra dengan Flores. Rupanya, sejak dulu bisa dibilang orang Minang sudah menjadi perantau.
Tidak diketahui secara pasti pada tahun berapa persisnya orang Minang itu merantau ke Flores. Akan tetapi, menurut Pak Blasius, saat ini ia dan saudara-saudaranya yang seumuran sudah sampai generasi ke-19. Ketika itu, perantau Minang yang datang adalah kakak beradik. Mereka tentunya tiba melalui laut dengan menaiki kapal. Dari pesisir pantai, mereka sempat melihat asap di ketinggian lalu mencari tempat keluarnya asap itu. Setibanya di atas, mereka pun membangun desa Waerebo. Rajin sekali ya mereka berjalan kaki sejauh dan selama itu, karena Waerebo sendiri berada di ketinggian kira-kira 1100 meter di atas permukaan laut. Kini, para keturunan orang Minang yang tinggal di Waerebo disebut sebagai Suku Modo.
Setelah cukup kenyang, kami bersiap untuk berjalan kaki menuju Waerebo. Masing-masing dari kami membawa tas ransel. Menurut informasi yang didapat, perjalanan ke atas memakan waktu kira-kira 2-3 jam tergantung kecepatan tiap individu. Pada awalnya, kami sempat naik ojek dulu sebentar, baru mulai jalan kaki. Medannya menanjak dan di awal-awal jalanannya sempat berlumpur. Saya agak khawatir kalau misalnya akan terus berlumpur tapi untungnya tidak. Kami mendaki saat sudah agak sore jadi cuacanya cukup sejuk, tapi tidak begitu dingin. Jadilah jaket tebal yang sudah kami persiapkan hanya digantung. Perjalanannya memang melelahkan tapi untungnya berhasil kami lalui.
Di sepanjang jalan, kami disuguhi dengan keasrian pepohonan dan aneka tanaman. Selain itu, kami juga sering berpapasan dengan beberapa penduduk lokal dan juga pengunjung. Saya sangat salut dengan para penduduk lokal.. Kebanyakan dari mereka berjalan kaki tanpa menggunakan alas kaki. Sudah begitu, mereka biasanya membawa barang-barang yang banyak karena untuk membawa barang atau bahan makanan ke atas memang hanya melalui jalan itu aksesnya. Saya tak habis pikir dengan ibu yang membawai sejerigen air di atas kepalanya dan bisa tidak jatuh
Ada 3 pos pendakian untuk menuju Waerebo. Pos ketiga adalah tempat tertingginya karena setelah itu kami berjalan turun. Di pos itu, ada semacam kentongan yang digantung. Setiap kelompok pengunjung yang datang harus membunyikannya. Biasanya yang membunyikannya adalah pemandu tiap kelompok. Tujuannya adalah agar warga di Waerebo tahu bahwa akan ada pengunjung yang datang.
Sekitar 15 menit kemudian, akhirnya kami tiba juga di Waerebo. Total perjalanan kami dari Denge menuju Waerebo ternyata 2 jam jalan kaki. Karena merupakan desa adat, tentunya kami harus menghormati peraturan dan kepercayaan adat yang ada di sana. Salah satunya adalah tidak boleh berfoto dulu sebelum disambut secara adat. Prosesi penyambutannya sendiri adalah, kami masuk ke salah satu rumah, lalu kepala desa di sana akan mengucapkan kalimat-kalimat penyambutan dengan bahasa lokal sana. Dengan adanya penyambutan itu, kami sudah dianggap sebagai keluarga besar Waerebo.
Kemudian, kami pun berkeliling desa itu. Waerebo, yang memang tampak indah pemandangan alamnya dan masih terasa asri. Pada sore hari itu, terlihat anak-anak sedang asyik bermain bola, para ibu yang sedang memasak, dan juga banyak pengunjung yang datang bercengkrama dengan penduduk lokal ataupun sibuk berfoto-foto. Udara pada saat itu terasa sejuk.
Salah satu hal yang menjadi ciri khas Waerebo adalah 7 rumah adat berbentuk kerucut yang ada di sana. Rumah-rumah tersebut dikenal dengan nama Mbaru Niang. Ternyata, tiap Mbaru Niang terdiri atas 5 tingkatan. Tingkat pertama disebut ‘Lutur’ yang artinya tenda dan menjadi tempat tinggal masyarakat. Tingkat kedua yang sebutannya adalah ‘Lobo’ merupakan loteng untuk penyimpanan bahan makanan. Tingkat ketiga dinamakan ‘Lentar’ yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan benih-benih seperti jagung dan padi. Tingkat keempat adalah ‘Lempa Rae’, yaitu tempat cadangan makanan jika terjadi kegagalan panen atau musim kemarau berkepanjangan. Sedangkan tingkat kelima disebut ‘Hekang Kode’ yang digunakan sebagai tempat menyimpan langkar, semacam anyaman dari bambu tempat menaruh sesajian yang akan dipersembahkan pada leluhur.
Beberapa tahun belakangan ini, Waerebo makin banyak didatangi pengunjung. Apalagi sejak tahun 2012, desa ini telah diakui UNESCO sebagai situs warisan budaya dunia. Karena sudah semakin banyak turis yang datang, ada Mbaru Niang yang khusus dipergunakan untuk kami menginap. Kami akan tidur bersama-sama di ruangan besar. Sedangkan bagi penduduk lokal, karena jumlah warganya semakin banyak, maka kini yang tinggal di Waerebo hanya perwakilan-perwakilan saja. Sementara itu, yang lainnya tinggal di desa Denge. Penduduk Waerebo sangatlah ramah. Mereka memperlakukan para pengunjung dengan sangat baik. Sehari-harinya, para penduduk lokal itu berprofesi sebagai petani kopi.
Di Waerebo, yang namanya sinyal betul-betul tidak ada. Meskipun begitu, ada untungnya juga karena kami jadi bisa lebih merasakan suasana kekeluargaan di sana. Sesama pengunjung saling berkenalan. Saat makan malam, kami menyantapnya bersama-sama di ruangan tidur kami. Makanan kami sendiri dimasak oleh para ibu di sana dengan peralatan masak yang masih sederhana. Bahan-bahan makanan sebanyak itu diangkut dari Denge, yang artinya semuanya dibawa dengan jalan kaki!
Keeseokan harinya, kami bangun pagi-pagi dan akhirnya bisa betul-betul melihat Waerebo saat cuaca cerah. Pemandangan di sana memang indah. Para penduduk lokal pun sudah mulai beraktivitas. Ada yang sedang mengurusi biji kopi, berkebun, dan sebagainya. Setelah berfoto-foto lagi, kami harus bersiap-siap untuk turun ke bawah. Perjalanan pulang kembali kami tempuh selama 2 jam dengan medan yang tidak seberat saat naik tapi entah kenapa lebih berlumpur. Satu hal yang saya salut lagi, tiap kali berpapasan dengan penduduk lokal, mereka akan mengajak bersalaman dan mengenalkan diri mereka.
Saya sungguh merasa terkesan dengan Waerebo, baik dari segi pemandangan alamnya, keunikan budayanya, serta keramahan orang-orangnya. Semoga hal ini dapat terus bertahan seterusnya!
Oleh : Nadia Farah Lutfiputri
Silakan login/daftar akun kompas.id untuk dapat melakukan voting