Home Lomba Blog KTF 2015 Mencari Ketenangan di Takachiho

Mencari Ketenangan di Takachiho

oleh

Jepang tak hanya punya kota metropolitan dengan segala kecanggihannya seperti Tokyo atau Osaka. Jepang juga punya daerah rural yang eksotis dan tenang. Takachiho adalah salah satunya.

Di Takachiho, aura kesederhanaan terasa sangat kuat.  Disini, tak ada orang yang jalan tergesa-gesa sebagaimana kebanyakan orang Jepang. Mobil yang berseliweran bisa dihitung dengan jari. Tak ada gerai Seven Eeven atau Familymart yang selalu ditemui hampir disetiap simpang jalan kota-kota di Jepang. Disini yang ada adalah hamparan sawah yang menguning, ladang-ladang sayuran yang bertebaran, serta bentang pegunungan yang mengelilingi kota kecil ini. Kontur kotanya pun berbukit-bukit, menandakan ini memang daerah pegunungan. Disini pula anda bisa menemukan fakta bahwa ternyata di negeri yang sangat high tech, masih ada daerah yang sulit menangkap sinyal HP. Disini, waktu terasa berjalan lambat di sini.

Dimanakah Takachiho? Kota kecil ini berada di pulau Kyushu, tepatnya di bagian utara prefektur Miyazaki, tempat dimana saya menghabiskan masa studi selama setahun kemarin. Takachiho berjarak 128 Km dari Kota Miyazaki. Perlu waktu 3 jam dengan bus, satu-satunya transportasi umum untuk menuju ke sana dari kota Miyazaki. Itu pun tidak setiap hari ada jadwal ke sana. Kereta? Tak ada rute kereta menuju ke Takachiho. Boro-boro Shinkansen, kereta sekelas KRD pun ogah mampir ke sana. Ini bukti betapa terpelosoknya Takachiho. Katanya dulu ada jalur kereta ke sini, namun beberapa tahun lalu jalur ini kemudian ditutup, mungkin karena tak banyak orang yang menuju ke sana.

Saya mengunjungi Takachiho setahun yang lalu bersama rombongan kecil teman-teman sekampus di University of Miyazaki. Rombongan ini terdiri dari 7 orang Indonesia, 1 teman asal  slovenia, dan 5 teman Jepang. Kami berangkat dengan mencarter bus kecil, karena seingat saya hari itu tidak ada jadwal bus ke Takachiho. Kami berencana menghabiskan 2 hari weekend kami untuk sekedar lari dari sesaknya rutinitas kampus yang melelahkan.

Sesaat Sebelum Keberangkatan

Destinasi wisata pertama yang kami kunjungi adalah Takachiho Gorge. Ini semacam landmark-nya kota Takachiho. Objek wisata ini berupa air terjun yang mengalir ke sebuah sungai yang membelah kota kecil ini. Yang menarik adalah goresan-goresan karang yang terbentang di tebing sepanjang sungai ini. Katanya, goresan-goresan karang ini terbentuk secara alami akibat lelehan lava erupsi gunung Aso tak jauh dari kota ini. Uniknya, goresan-goresannya begitu presisi irisan-irisannya, seolah dibelah secara sengaja.

Ada dua cara menikmati Takachiho Gorge. Cara pertama adalah dengan melihat view air terjun dari sisi atas. Mengingat kontur objek wisata ini berbukit-bukit, kita bisa menikmati air terjun dari jauh dengan menapaki jalur tangga yang disediakan dengan mengelilingi tempat ini.

View Air Terjun Takachiho Gorge Dilihat Dari Atas

Sedangkan cara terbaik menikmati air terjun ini adalah dengan naik perahu kano. Yaa, kita bisa menikmati pemandangan air terjun dan keindahan goresan-goresan karang di sekitarnya dengan menyusuri sungai dibawahnya dengan memakai perahu kano. Dengan uang sebesar 2000 yen, kita diberi kesempatan menyusuri sungai ini selama setengah jam menggunakan kano. Saya mencobanya berpasangan dengan salah seorang teman. Secara bergantian kami mengayuh dan mengambil gambar dengan kamera kami.

Bagi saya pengalaman berkano di sungai ini sangat mengesankan. Semakin kita mendekati air terjun, kita akan merasakan percikan-percikan air yang menyegarkan. Belum lagi pantulan cahaya matahari yang membentuk lengkungan-lengkungan pelangi disekitarnya. Rasanya waktu setengah jam akan terasa berlalu begitu cepat.

Serunya Naik Kano

Tak jauh dari Takachiho Gorge, terdapat Amanoyasugawara Shrine, sebuah kuil Shinto yang ada di sebuah gua kecil dalam hutan kota Takachiho. Dalam cerita mitologi Jepang, tempat ini dikenal sebagai tempat bersembunyinya Amaterasu, dewi matahari, saat ia turun ke bumi. Konon, karena turunnya Amaterasu ini, bumi sempat gelap gulita selama beberapa waktu.

Untuk mencapai gua ini, kami harus hiking menyusuri hutan kecil di belakang pusat kota. Namun, tak perlu khawatir tersesat, karena disepanjang jalan setapak hutan ini telah disediakan berbagai petunjuk jalan. Asyiknya, banyak burung liar yang terbang bebas di dahan-dahan pohon. Suaranya yang saling bersahutan memberi efek yang natural banget.

Di sebelah utara pusat kota, terdapat kuil Shinto kuno, Takchiho shrine. Oh ya, kuil kuno ini dibangun pada era kaisar ke sebelas, Suinin. Konon, pohon-pohon cedar yang  ada di kuil ini katanya berusia lebih dari 800 tahun.

Disini, setiap malam selalu digelar pertunjukan tarian Kagura. Malam pertama kami pun  kami lewati dengan menonton pertunjukkan ini. Pertunjukan Kagura lebih seperti operet, karena memang ada dialog dan alur ceritanya, bukan melulu sekedar tarian. Ceritanya tentu seputar mitologi Dewa Dewi Jepang, yang sangat kental berhubungan dengan kota ini. Untuk menonton pertunjukkan ini kami harus merogoh kocek sebesar 700 yen.

Menonton Atraksi Kagura di Takachiho Shrine

Menonton kagura disini juga harus siap-siap berinteraksi dengan aktornya. Menurut penjual tiketnya, kadang-kadang pemain kagura akan mendekati penonton dan ngobrol dengan penonton ditengah jalan cerita. Saya yang kemampuan bahasa Jepangnya pas-pasan cuma berdo’a supaya kagura tidak menghampiri saya.

Kagura Menggoda Penonton

Benar saja, saat pertunjukan berlangsung, beberapa kali pemain Kagura turun dari panggung dan menghampiri penonton. Terjadi kegaduhan karena beberapa penonton yang dihampiri sedikit ketakutan, mungkin karena melihat topeng dan busana menyeramkan yang dikenakan pemain kagura.

Bagi saya, saat paling menyenangkan dalam trip kali ini adalah kesempatan berinteraksi dengan penduduk setempat. Kami memang memilih menginap di sebuah rumah penduduk yang biasa dijadikan homestay. Pemiliknya adalah pasangan suami istri yang sangat ramah. Rumahnya bergaya tradisional Jepang, dengan pusat rumah berupa dapur terbuka. Harga menginapnya pun tak mahal, hanya 2000 yen/orang untuk satu malam. Sayang, saya lupa nama tempat tersebut.

Momen memasak bersama menjadi ajang yang mengasyikkan untuk sekedar mengobrol bersama. Supaya ramai, pemilik rumah juga sempat mengajak beberapa tetangga untuk ninbrung bersama kami. Mungkin sangat jarang ada orang asing datang. Disini kami bisa bertukar cerita mengenai negara kami masing-masing. Biarpun kemampuan bahasa jepang saya pas-pasan, tapi sedikit-sedikit saya bisa memahami pembicaraan dengan pemilik rumah. Ahhh, seru pokoknya.

Asyiknya Bercengkerama di Ruang Makan

Tentu masih banyak keasyikan yang bisa dirasakan disini. Kami sempat jalan-jalan ke bekas stasiun Takachiho yang kini tak terpakai. Disini kami berkesempatan naik kereta api wisata mengelilingi perbukitan Takachiho.

Diatas Kereta Wisata

Kami juta sempat pergi ke Kuminigaoka, bukit dengan ketinggian 513 meter diatas permukaan laut ini menyajikan view matahari terbit yang ditingkahi dengan pemandangan gumpalan-gumpalan awan yang berundak. Sensasinya itu lho,…Menurut legenda, di tempat inilah Dewa berdiri mengamati negeri Jepang.

Ahh, trip kali ini benar-benar menyenangkan, rasanya ini adalah destinasi yang tepat untuk melarikan diri dari penatnya rutinitas harian. Takachiho adalah tempat yang tepat untuk me-recharge semangat baru untuk menghadapi hari-hari ke depannya. Beneran deh!!

Penulis

Ofi Sofyan Gumelas

Twitter: @OfiSgumelar