Home Kabar KTF 2014 Jazz Bambu dan Bubi Chen Yang Tersenyum …

Jazz Bambu dan Bubi Chen Yang Tersenyum …

oleh Mahansa Sinulingga

FESTIVAL Locafore 2014 menunjukkan musik jazz tak melulu urusan telinga. Mata pun dimanjakan dengan ornamen seni lukis dan kriya yang menawan. Jazz terdengar lentur dalam bilah bambu pula.

Lodhy Surya takjub memandang susunan bambu menyerupai lukisan di arena festival di Kota Baru Parahyangan, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, pekan lalu. Bambu disusun membentuk sesosok wajah yang sangat diakrabi komunitas jazz di negeri ini, mendiang Bubi Chen.

Ia tidak menyangka ada rupa pada susunan bambu di bidang besar itu. Wilson Quah, berkebangsaan Malaysia yang satu rombongan dengan Lodhy, pertama kali menyadari, rupa itu adalah wajah Bubi Chen, maestro jazz Indonesia. Pada gambar itu, Bubi terlihat tersenyum.

”Amazing. Saya terharu. Jika ada billboard memasang wajah Om Bubi, sudah umum. Namun, ini adalah karya seni yang unik dan rumit,” kata Lodhy. Bambu adalah salah satu potensi alam yang dikembangkan menjadi daya tarik wisata di Bandung. Potensi itu turut dipamerkan dalam Kompas Travel Fair di Jakarta mulai Jumat (26/9) besok.

Lodhy, manajer kelompok kuartet Tribute to Bubi Chen, mengenal Bubi tahun 1990-an. Kedekatan itu membuatnya dipercaya sang maestro menjadi manajernya. Saat melihat ”lukisan” bambu itu, ia pun terkenang persahabatannya dengan Bubi.

”Saya di dekat Om Bubi saat dia sedang produktif berkarya. Pertengahan 1990-an, kami ke Singapura untuk rekaman. Selama tahun di sana, Om Bubi menghasilkan 10 album,” kenang Lodhy, yang mengedarkan kesepuluh album itu lewat perusahaannya, Legend Records.

Selain memajang ”lukisan” Bubi Chen, penyelenggara juga memamerkan karya bergaya serupa yang menunjukkan wajah musisi Natalie Cole dan Louis Armstrong. Bubi pernah pentas di Locafore pada 2011.

Kelompok Tribute to Bubi Chen tampil pada salah satu dari tiga panggung yang ada. Mereka membawakan enam lagu, empat di antaranya ciptaan Bubi Chen, yaitu ”KLM”, ”Home”, ”Shang and Darin”, dan ”Frogwalk”, dengan penyanyi Putri Bilanova N Mahesa.

Kuartet itu diisi oleh Wilson Quah pada piano, Yohanes Radianto (gitar), Donny Sundjoyo (bas), dan Elfa Zulhamsyah pada drum. Putri, yang berusia 18 tahun, senang bisa tampil bersama musisi berpengalaman itu.

Sebelumnya, ratusan penonton menikmati aksi kelompok Angklung Saung Udjo. Lagi-lagi, bambu menjadi pusat perhatian. Mereka membawakan tiga lagu memakai alat musik bambu, termasuk tembang rock ”Bohemian Rhapsody” milik Queen. Daeng Udjo, pimpinan kelompok itu, mengaku tak perlu memaksakan diri menjadi jazz untuk bisa berpentas di antara deretan musisi dan penyanyi jazz.

”Angklung berbeda. Pemain angklung tak bisa berimprovisasi di panggung, seperti musisi jazz. Saya sebagai konduktor harus bisa menyusun aransemen dalam memadukan alat musik tradisional ke jenis musik jazz ataupun rock,” kata Udjo lagi.
Ornamen bambu

Penyelenggara acara meletakkan bambu sebagai unsur penting dalam acara itu. Di taman dalam arena, ada patung berbentuk belalang setinggi sekitar 15 meter. Ada juga patung burung hantu bertengger di pohon besar. Semuanya dari bambu.

Menurut Windi Salomo, pengelola acara, desain karya kriya bambu itu dirancang oleh suaminya, seniman Nus Salomo dari Yogyakarta, bersama perajin bambu dari Sukabumi, Jabar. ”Mulai tiga bulan lalu mereka mengerjakan patung dan gambar itu,” ujarnya.

Selain musik jazz, Festival Locafore kelima itu juga memamerkan lukisan modern di Gallery Bale Pare. Tiada tema khusus pada pameran lukisan. Hadirin tak perlu susah payah menghubungkan lukisan dengan sajian musik jazz.

Selama festival, ribuan orang datang. Mereka diakomodasi dengan menampilkan musisi jazz dari berbagai dekade, seperti Endah n Rhesa, Monita Tahalea, Barry Likumahuwa, Mus Mujiono, dan Ermy Kullit. (HEI)

Harian Kompas – Kamis, 25 September 2014 – Halaman 22


Datang dan ikuti keseruan acaranya!