Siang yang terik. Matahari sedang tidak diskon di laut Sumbawa waktu itu. Panasnya sampai masuk ke ubun – ubun. Sebuah kapal kecil mengantar kami dari Desa Labuan Badas menuju Tanjung Pasir, pantai di bagian selatan Pulau Moyo, Sumbawa. Dari atas kapal kayu itu kami bisa merasakan secara gamblang udara yang bergerak menyapu tubuh, bertubi – tubi. Di tengah laut biru, diantara deru suara mesin kapal dan naungan awan cirus, Sang Kapten kapal mengejutkan kami dengan hasil tangkapannya. Kalau ada pepatah yang mengatakan “sambil menyelam minum air”, hal ini pulalah yang dilakukan bapak pemilik kapal – yang sebut saja Sang Kapten – lakukan ketika mengantar kami, dan voila sebuah ikan besar kini ikut bergabung dengan kami, nelayan yang beruntung!
Kurang dari satu jam, kapal siap mendarat. Sebuah pantai berpasir yang menjorok, pantas saja namanya Tanjung Pasir. Di sebelah timur ada plang berkarat nampak menjulang diantara semak dan ilalang kering “TAMAN WISATA ALAM LAUT PULAU MOYO (LUAS 6000 HA)”. Sang kapten siaga mengatur posisi agar kapal bersandar di tempat yang tepat. Ya, tempat yang dimaksud bukan dermaga. Tidak ada dermada disana. Di salah satu sisi pantai, Sang Kapten menambatkan perahu dan mengikat talinya ke tiang pancang sebelum membantu kami turun satu persatu. Bingung, air muka kami berubah. Terlalu drastis. Bola mata bergerak perlahan menyusuri setiap inci gugusan kerikil dan pecahan karang. Ekspektasi berhenti membanjiri, melainkan menetes. Semua adegan di kepala melambat seperti adegan slow motion, “Pulau Moyo kok gini?”
Masih pukul dua siang waktu itu. Terlintas keinginan untuk pulang. Tapi tas – tas besar yang menampung segala keperluan kemping mustahil dibawa pulang tanpa guna, cumi segar yang dibeli di desa sebrang tidak mungkin kami kembalikan ke laut, begitupun air tawar satu galon sepertinya terlalu berat untuk dibawa kembali naik ke kapal. Bukan waktu yang sebentar untuk sampai ke tempat ini, Bali – Sumbawa dengan motor adalah substansi nekat dan hemat. Perjalanan sudah dimulai sejak dua hari yang lalu, pilu rasanya kalau kami harus pulang tanpa cerita.
Kami berpandang – pandangan satu sama lain. Sedetik kemudian, kami terpingkal – pingkal seperti orang gila. Tanpa tahu apa yang lucu. Setiap kali kami menatap satu sama lain tawa kami semakin meledak. Saya tak ingat apa yang lucu waktu itu. Yang saya tahu hanya itulah satu –satunya yang ingin kami nikmati waktu itu, Menertawakan Moyo KW 5 !
Meskipun sukses salah tempat alias kesasar kami tetap melanjutkan piknik, yah judulnya masih di area Pulau Moyo. Nesting dikeluarkan, butir – butir beras yang nyaris serupa dengan biji pasir pantai dimasak untuk makan siang. Cumi segar dipotong, lalu dikreasikan dengan bumbu saus tiram. Kayu – kayu kering dibakar, beberapa ikan tepanggang pasrah diatasnya. Dan lihat apa yang kami buat!! Satu set menu makan siang ala restorant seafood ternama di Jimbaran. Nyumi!!
Mendekati batas air laut, pulau Tora – Tora, – kemudian kami menamai tempat ini – di dominasi oleh hamparan karang. Selepas makan siang, kami menggelar matras dan menikmati tidur siang diatas pasir pecahan karang yang berwarna krim kekuningan. Ratusan buih laut Sumbawa berkilau perak ditimpa sinar matahari. Karang – karang kecil mengkilap, membentuk titik – titik yang berpendar menyilaukan mata karena tersepuh buih air laut. Selain kami, tak ada lagi orang disana.
Menjelang malam kami menepi di bibir pantai. Di langit awan cirus yang awalnya putih kebiruan perlahan bermetamorfosis, terus berubah, sampai semuanya jadi orange, seperti sirup rasa jeruk yang dituang sembarang, pecah, tidak merata namun eksotis. Dan gelombang dipantai itu… tak saling mengejar. Perlahan, tenang, namun terus bergerak menepi menghasilkan buih putih yang beranak pinak. Tak ada nyiur melambai tarian khas laut. Tapi jika kamu memasang telinga dengan waspada ada siul angin berbisik pada Neptunus. Kamu bisa bayangkan? Ada sebuah ketenangan-yang-bergejolak.
Setengah hari sudah lewat. Bulan menyala perak, bundar bagaikan mutiara yang berpose di mahkota langit, siap mengamini doa siapa saja yang meminta keindahan.Otot kami belum cukup lelah untuk menyelusup di sleeping bag. Tenda – tenda yang sudah kokoh sejak siang belum terlihat fungsinya. Di tepi pantai antah barantah, kami menghidupkan alam dengan tawa yang seada – adanya. Lelucon memecah keheningan malam. Langit sudah sepenuhnya hitam pun lautan, satu – satunya petunjuk bahwa kami masih berada di tubir pantai hanyalah suara air memukul – mukul daratan dan meyeret serta pasir – pasir basah. Dan kami belum lelah tertawa. Seperti ada yang dilepaskan saat mulut terbuka dan tawa pecah. Otot-otot orbicularis oculi di sekeliling mata menerjemahkan bahwa inilah piknik yang sesungguhnya, yaitu membebaskan.
Ah, seandainya waktu bisa diulang.