Home Lomba Blog KTF 2014 Cantiknya si Merah Jambu Ueno-Koen

Cantiknya si Merah Jambu Ueno-Koen

oleh

Dan merekapun berguguran.

Ueno-koen atau taman Ueno, terletak di distrik Ueno, Taito, merupakan salah satu tujuan wisata terfavorit di Tokyo apalagi pada musim semi ketika Sakura bermekaran seperti saat ini. Taman yang diresmikan pada tahun 1873ini seluas 80 kali luas lapangan sepakbola dan merupakan rumah bagi puluhan monumen, museum, kuil dan bahkan sebuah kebun binatang. Membayangkan menyusurinya saja, kakiku sudah bergetar. Kali ini aku hanya ingin menikmatinya, tanpa target untuk mengunjunginya satu persatu. Cukup Sakura. Bagiku yang kantongnya teramat sangat cekak, Taman Ueno sendiri adalah surga. Untuk menikmati keindahan bunga nasional Jepang ini aku hampir tidak perlu mengeluarkan yen sama sekali. Gratis tis tis.

Dari hotel kami di Asakusa, tempat ini bisa dijangkau dengan Subway Ginza Line dan turun di Stasiun Ueno. Keluar dari Park Exit langsung belok kanan.

Begitu keluar dari stasiun subway, terdengar suara perempuan lantang yang sepertinya sedang menjajakan makanan. Semakin aku berjalan ke arah taman, suaranya semakin nyaring. Aku pikir suara ini dari rekaman radio tape yang diulang – ulang, tapi ternyata suara perempuan pegawai toko yang dengan lincah dan semangat berapi – api  menawarkan dagangan si empunya toko kepada siapapun yang lewat.

Sementara itu, di tangga di luar taman terdapat beberapa orang paruh baya dengan senyum merekah menawarkan jasa mereka. Ada yang mensketsa wajah. Ada yang membuat kaligrafi kanji. Ada pula yang menjual lukisan. Sepertinya mereka adalah tunawisma yang tinggal di Taman Ueno. Ya. Ueno-koen adalah rumah bagi mereka walaupun sebenarnya ini tidak diperbolehkan. Tinggal di sini, mereka harus kucing – kucingan dengan petugas. Seperti halnya di Jakarta, pada tunawisma sering main petak umpet dengan Satpol PP.

 

Kehidupan sulit tak membuat mereka muram, senyum mereka selalu indah seperti Sakura yang bermekaran. Awalnya aku hanya mencoba peruntunganku dengan segala penuh harap agar Sakura masih menungguku. Berjudi dengan datang ke Tokyo lebih cepat satu minggu dari perkiraan musim Sakura hanya gara-gara tiket promosi yang lebih murah. Padahal salah pilih waktu selisih 1 hari saja, angan – angan melihat bunga ini bisa-bisa pupus. Perlu diketahui hanya butuh waktu 14 hari mulai dari kuncup sampai gugur. 14 hari. 2 minggu. Tidak kurang. Tidak lebih.

Tapi rasanya Allah menjawab asaku. Ketika aku memasuki taman ini, guguran Sakura menghampar luas sepanjang mata memandang laksana karpet merah muda yang menyambutku, si pemimpi. Setelah beberapa saat tertegun, aku baru sadar sedang ada Festival Hanami. Ingat tidak adegan kartun Crayon Shinchan ketika Sinchan sekeluarga datang ke suatu taman, duduk di alas tikar berpiknik ria di bawah rindangnya pohon Sakura. Nah, persis seperti itu. Di kanan kiri jalan taman ini, banyak warga Jepang yang sudah berkumpul, entah itu keluarga, anak-anak remaja maupun rekan-rekan kerja masing – masing kelompok duduk di terpal biru yang sudah dibagi sama lebar oleh pengelola taman. Ada yang sibuk makan, minum sake, bersenda gurau. Ada pula yang masih nyenyak di dalam kantong tidur. Dalam perjalanan, saat – saat seperti inilah yang aku suka. Aku tidak hanya melihat satu tempat hanya permukaannya saja. Benda mati. Tapi memiliki lapisan – lapisan yang juga merefleksikan budaya.

Hanami sendiri sejatinya adalah kegiatan menikmati bunga (Sakura) yang sudah ada sejak tahun 710 Masehi. Tapi seiring waktu, esensi hanami sekarang tidak lagi terfokus pada keindahan sakura tapi lebih pada kerbersamaan bersama kerabat dibarengi dengan makan – makan dan tak lupa minum sake. Bahkan ada satu paribahasa Jepang menyentil pergeseran budaya ini. Hana Yori Dango. Seperti judul Dorama tahun 2009 an yang diadaptasi dari judul manga yang sama. Sebenarnya arti peribahasa ini adalah “Kue Bola daripada Bunga”. Masyarakat lebih suka makan – makan di bawah guguran sakura tapi tidak lagi terlalu memperhatikan estetika sakura itu sendiri.

Budaya memang bisa sedikit berubah tapi untuk urusan tradisi, aku taruh rasa hormat paling dalam untuk Negeri Matahari Terbit ini. Di ujung jalan tempat Festival Hanami, dekat tengah taman banyak orang sedang mengkerubuti sesuatu. Ternyata sedang ada upacara minum teh atau biasa disebut Chanoyu. Terdapat satu tikar besar berukuran 4 m x 4 m, di setiap sisinya 4 sampai 6 pengunjung duduk dengan posisi bersimpuh sempurna menikmati teguk demi teguk macha atau teh hijau di dalam Chawan (mangkok teh). Di ujung tikar sebelah kanan, ada seorang gadis dengan pakaian sekolah yang duduk dengan sikap yang sempurna, lembut gemulai mengambil air panas dari dalam kama (ceret) dengan sebuah hikashu, sejenis gayung yang terbuat dari bambu dengan gagang panjang, kemudian dimasukkannya ke Chawan yang sudah ada bubuk tehnya. Diaduk perlahan. Setelah itu mangkok diberikan ke pengunjung yang sudah menunggu. Semuanya begitu khusyuk, begitu tenang dan anggun. Tak dipungkiri pengaruh Zen Budha sangat terasa.

Awalnya aku dan Sita ingin bergabung dalam upacara ini, tapi rasa sungkan dan takut kalau mengganggu membuat kami hanya sebagai penonton manis yang sibuk ambil foto.

Puas menyaksikan prosesi yang begitu lambat namun indah ini, kami bersemangat untuk mencari makanan sekedar untuk pengganjal perut yang sudah berontak sedari tadi. Berhubung sedang ada festifal Hanami, banyak orang yang berjualan makanan, mulai dari Okonomiyaki, Takoyaki, Chicken Karaage dan yang pasti rebusan tahu. Dan ada juga macam – macam cumi, daging bakar, kue bola dan ikan asap.

Di depanku sudah berjejer teppan, wajan pipih super panas yang di atasnya sudah ada bermacam – macam daging siap dipanggang. Glek. Tapi tunggu dulu, makan di Jepang, sebagai muslimah, kita wajib berhati – hati karena banyaknya daging babi.

Mata sudah nanar memandang cumi bakar, aku masih ragu dengan daging yang diujung tepan.

“Sore wa butaniku?”,  itu daging babi?, tanyaku

“hai! Ya!”, jawab si penjual semangat. Tanpa ditanyapun dia dengan semangat memberitahukan jenis – jenis daging yang di situ. Butaniku. Babi. Chikin. Ayam. Gyuniku. Sapi. Diiringi pula dengan meniru gerak ayam dan suara yang buat-buat seperti kokok ayam.

“Gomen. Maaf.”, aku rasa tak tega makan itu.

Cacing – cacingku teriak protes. Mungkin kalau mereka bisa bicara pasti mereka suruh aku untuk sikat habis semuanya.

Tapi aku tidak bisa menelan makanan yang ada unsur daging yang diharamkan ini. Walaupun yang aku makan cumi tapi daging babi itu juga dibakar di teppan yang sama.

Sepertinya kali ini, aku harus mengganjal perut dengan air putih yang aku ambil di kran di stasiun tadi. Lama – lama aku seperti manusia gelonggongan.

http://arumisdreaming.blogspot.com/2014/01/cantiknya-si-merah-jambu-ueno-koen.html

Penulis

Arum Apriliyana

Twitter: @arumisdreaming