“Mas pernah dengar Sawarna?” Saya ragu untuk menjawab pertanyaan pasangan. Sawarna nama orang, lokasi, atau lagu? Tapi ketika ia menyodorkan gambar-gambar tentang lokasi wisata, saya langsung menebak ia membicarakan salah satu obyek wisata daerah. Saya menggelengkan kepala. Baru dengar nama itu.
Eh beberapa hari kemudian saya bersama pasangan dan tujuh teman lainnya menyewa dua mobil menuju Sawarna yang terletak di Banten Selatan. Permintaan pasangan memang sulit ditampik. Tapi tak apa-apa sih ongkos perjalanannya tidak mahal karena anggota rombongannya banyak, ada sembilan orang. Per orang jadinya tidak lebih dari Rp 500 ribu.
Mobil yang saya tumpangi melaju dengan gesit. Pak Agus, sopir Innova, mampu melaju dengan kecepatan sedang dan tetap nyaman. Malangnya, mobil satunya keteteran dan tidak mengetahui medan. Baru melewati tol Jakarta-Merak, mereka sudah tersasar. Kami pun menunggui mereka di pom bensin yang terletak di Cilegon.
Akhirnya Pak Agus mengalah dan menurunkan kecepatannya. Kami pun terlelap dan saat Subuh kami telah tiba di Sawarna.
Rupanya mobil tak bisa masuk hingga ke lokasi tempat kami menginap. Akhirnya mobil dititipkan ke rumah warga, kami pun berjalan kaki dan melewati jembatan menuju penginapan yang tak jauh dari pantai.
Ada masalah dengan penginapan. Rumah warga yang kami sewa mendadak penuh. Untungnya pihak tuan rumah mengakui kesalahannya. Setelah sarapan, kami disewakan rumah yang cukup besar untuk kami bersembilan. Lumayanlah.
Usai membersihkan diri sejenak, kami menjelajah pantai. Pasangan ternyata sangat gesit. Ia berjalan memimpin di depan dan menyemangati kami bak dirigen.
Busyet jalannya jauh amat. Habis susur pantai eh lanjut bebukitan. Saya menjulurkan lidah, mulai kecapekan. Pasangan masih penuh lagak dan semangat berjalan. Tu..wa..tu..wa…saya menggodanya. Merasa diledek ia berhenti dan mendorong-dorong badan saya seperti anak kecil.
Kapan sampainya nih? Ia menggeleng tidak tahu. Untungnya batu karang yang menjadi ikon Sawarna mulai terlihat. Berat juga medannya nih, dari pantai, bebukitan, turun lagi ke pantai.
Sebelum menuruni bukit menuju ke Batu Layar, kami asyik berpose. Pasangan mengajak untuk berfoto-foto kocak. Ia memang lincah dan lagaknya suka aneh-aneh. Meski kami disoraki oleh lainnya, ia tetap asyik mengajak saya ikutan bergaya aneh-aneh. Tapi kok saya mau saja ya hahaha.
Selepas perjalanan jauh dan berkeringat rasanya enak untuk segera menyebur ke laut. Brrrr airnya dingin juga. Jarak dari pantai ke Batu Layar pun rupanya cukup jauh. Ketika kami berupaya mendekat, laut semakin dalam dan ombak cukup tinggi. Ya sudahlah kami pose-pose saja di depan batu karang tersebut.
Perjalanan ke batu layar cukup menguras tenaga. Usai mandi dan makan siang baru kami lanjutkan dengan jelajah gua. Gua kelelawar. Dengar namanya saja rasanya sangar. Eits salah namanya Gua Lalay. Memang sih di situ masih banyak kelelawar yang tinggal. Tapi kelelawarnya doyannya makan buah, bukan darah manusia.
Guanya bukan termasuk gua kering. Bakal berbasah-basah lagi nih.
Setelah melepas sandal dan melipat celana, kami pun masuk. Gelap dan basah membuat saya merasa was-was. Tapi guide kami meyakinkan tidak ada apa-apa di gua selain kelelawar. Meski guanya memiliki stalagmit dan stalagtit yang cantik, tapi saya enggan berlama-lama. Rasanya seram, takut ada yang muncul di air.
Eh memang Sawarna itu cocoknya menjadi wisata olah raga. Bakal langsing dan sehat jika rajin-rajin ke Sawarna. Setelah gua, guide dan anaknya, mengajak kami kembali ke Batu Layar dengan berjalan kaki.
Mendaki bukit menuruni lembah, jadilah kami Ninja Hattori. Saya dikerjai pasangan nih. Ini bukan berlibur leha-leha, tapi olah raga. Perjalanan mengarungi bukitnya cukup melelahkan. Setiba di pantai Legon Pari kami beristirahat kelelahan.
Selepas itu masih dilanjut lagi susur pantai hingga menyambung ke pantai dimana Batu Layar berada.
Saya tertawa terbahak-bahak melihat kondisi air yang surut. Kini Batu Layar bisa disebrangi dengan berjalan kaki, tidak perlu lagi susah-susah berenang.
Perjalanan kembali ke penginapan masih cukup jauh.Kami pun beristirahat di warung sambil terkekeh-kekeh mengingat panorama Batu Layar dan Gua Lalay yang harus kami bayar dengan olahraga berjalan kaki yang melelahkan. Seru sih karena ramai-ramai. Kami juga ‘dipaksa’ olah raga dimana biasanya kami kerap bolos senam di kantor.